![]() |
Gambar diambil dari sini |
Rasa malas dan
pemakluman lebih tipis dari kain lingerie, barangkali.
Sebagaimana
ketika persoalan menulis dianggap hanyalah pekerjaan orang-orang tertentu.
Anggapan ini mungkin dibangun di atas
pemakluman yang disamarkan oleh rasa malas atau sebaliknya. Pemakluman
ini mengklaim bahwa hanya orang-orang pintar saja yang bisa (dan boleh)
menulis. Orang-orang yang membangun anggapan ini juga memercayai takhayul lain,
semisal menulis adalah pekerjaan orang yang berbakat di bidang itu. Lain tidak.
Saya dengan menyesal mengaku bahwa dulu pernah menjadi bagian dari barisan ini.
Muasal dari
anggapan tersebut sebenarnya bertolak dari anggapan lain yang mengira bahwa menulis
adalah melulu perihal pencapaian. Ini anggapan yang menurut saya berlebihan,
kalau tidak boleh dibilang sebuah anggapan yang menyesatkan. Mereka yang cakap
menulis dianggap sudah mencapai taraf tertentu sehingga bisa menepuk dada
sendiri dan mendaku diri sebagai orang yang lebih. Sehingga bila pemahaman akan
hal ini diteruskan akan sampai pada
titik tertentu yang mengamini bahwa menulis adalah pekerjaan orang-orang
pintar.
Kaum medioker—yang
tidak pintar-pintar amat tapi selalu sewot jika disebut bodoh (saya contohnya)—akhirnya
kerap menganggap menulis seperti sebuah laku tertentu yang adiluhung. Sekali
lagi, ini berlebih-lebihan sekaligus menyesatkan. Sehingga ketika kaum ini
diharuskan menulis, yang terjadi adalah riuh mencari alasan. Padahal yang
terjadi sesungguhnya adalah kaum ini malas mengakui kekurangan diri dan
akhirnya mencari apologi bahwa menulis adalah pekerjaan ekslusif dari kalangan
ekslusif.
Atau justru
sebaliknya. Karena manusia pada dasarnya karib dengan sanjungan, maka kaum
medioker akan menulis dengan tujuan ingin dipuji. Ingin dianggap sudah mencapai
taraf tertentu yang saya bilang tadi. Menulisnya pun dibuat-buat. Dibubuhi
kata-kata dan istilah yang sukar dan
melangit. Diksinya rumit dan berbelit-belit.
Lalu bagaimana
saya sekarang memandang laku menulis?
Saya menolak
menanggapi dengan skeptis. Sama halnya saya juga menolak melakukan lagi
kesalahan yang dulu: menganggap menulis
adalah kerjaan kaum cerdik pandai dan berbakat. Buat saya sekarang, sebisa
mungkin saya mengingatkan diri sendiri bahwa esensi menulis adalah menyampaikan
pesan. Sudah, itu saja. Perihal apa yang
mau disampaikan juga tergantung penulisnya. Bisa data, bisa informasi, bisa
pula ekspresi. Buat saya itu cukup. Saya enggan ndakik-ndakik. Buat saya menulis (seharusnya) sesederhana itu.
Walau saya paham, menjadi sederhana bukan perkara yang mudah.
Menulis, bagi
saya, tak ubahnya dengan berkebun. Dalam berkebun, orientasi sesungguhnya bukan
hanya sekadar bagaimana kita memanen hasil kebun kita. Yang menjadi lebih
penting adalah menikmati bagaimana
menanam bibit, menyemai benih, mengolah tanah, menyiramnya, menjaganya dari
gangguan-gangguan, kadang gagal tumbuh, panen, dan kita menghela ritus yang sama
berulang kali. Ketika berkebun, kita menjaga keseimbangan dalam memelihara
kepuasan kita antara proses berkebun yang membutuhkan ketekunan dan kepuasan ketika
hasil panen itu ada.
Menulis juga tak
ubahnya seperti itu. Dalam menulis, kita sebenarnya sering terjebak dan
berkutat di persoalan “memanen”. Hasil panen yang semu. Hasil panen yang berupa
anggapan bahwa menulis bakal membuat kita terlihat pintar. Bakal terlihat lebih
dari yang lain. Padahal tidak seserius itu, seharusnya.
Menulis bukan
memanen, sebenarnya. Bukan tujuan, tapi perjalanan. Terdengar klise dan
sederhana? Memang. Tapi sesungguhnya, bagi saya kenyataannya demikian. Ketika
menulis kita akan menanamkan pemahaman, menyemai pengertian dengan diri
sendiri, mengolah rasa, mengatur logika, menyiraminya dengan kritik, memupuki
dengan kerendahhatian, terus demikian. Kita akan menguliti diri kita sendiri. Menyingkap
terlalu banyak hal yang tidak kita mengerti. Sehingga dari sini, anggapan
menulis adalah kerjaan orang pintar itu gugur sudah. Menulis sesungguhnya
adalah laku orang-orang yang berkebun di
tengah ladang ketidakmengertian.
Konkritnya,
ketika saya hendak menulis sebuah esai. Saya harus mencangkul ketidakmengertian
saya dengan melihat dan membaca kondisi yang ada, meriset, bertanya, menguji
asumsi, menganalisa, sebelum saya menginformasikannya kepada orang lain. Ada
proses dari tidak paham yang (mencoba) diubah menjadi paham. Dan upaya pemahaman
yang paling sering saya dapatkan adalah pemahaman saya terhadap diri saya sendiri.
Saya berkebun dengan kata-kata. Perkara
nanti saya panen atau tidak, saya kira itu tak jadi soal. Karena saya sudah
mendapatkan banyak hal selama menghayati proses berkebun itu sendiri.
Lalu
pertanyaannya sekarang, jika memang demikian, mengapa tulisan di blog ini
terbilang sedikit? Mengapa jika sudah memahami bahwa menulis ibarat berkebun
tapi tak juga menulis? Hah?
Ummm…anu, saya
tidak bisa menjawab.
Karena memang,
rasa malas dan pemakluman itu lebih tipis dari kain lingerie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar