Rabu, 24 Februari 2016

Menerima Kekalahan





Gambar diambil dari sini




Entah saya benar atau tidak, tapi saya merasa bahwa hidup terlalu sering hanya dimaknai sebagai laku untuk mendapatkan hal-hal yang kita impikan. Hidup kerap sekadar dibaca sebagai sebuah perjalanan dari satu angan ke angan lain, mewujudkannya menjadi perkara yang nyata, merancang gerak demi gerak, menggapai cita-cita, mengejawantahkan impian. Terus menerus kita dihela ritus demikian. Berkali-kali. Berulang-ulang.

Lalu apa yang menjadi soal? Apakah itu perkara yang salah? Lancang betul saya jika berani menyalahkan perkara itu. Tentang hidup yang dimaknai dengan terus bergerak untuk mencapai target demi target, tentu saja saya sepakat. Tanpa bersikap demikian, hidup mirip biduk di tengah laut. Terombang-ambing tanpa kejelasan.

Tapi kita kerap lalai untuk mengkhidmati, bahwa hidup juga perihal menerima. Yang saya maksud di sini adalah menerima hal-hal yang terjadi dan mendera. Ihwal ini, saya rasa kurang mendapat kurang porsi yang seimbang, apalagi di era yang sekarang yang semuanya serba praktis, instan, dan semua hal bisa melaju sangat cepat. Yang menjadi tolok ukur kualitas hidup seringkali adalah pencapaian-pencapaian, bukan kemampuan untuk menerima yang terjadi, kemudian kembali melangkah. Karena bagaimanapun, hidup akan terus berjalan.

Dalam nujum saya, ini mungkin karena kita kurang berolahraga. Lebih tepatnya, kurang sporty..eh..sportif. Kurang menghayati nilai-nilai sport. Maka saya selalu senang melihat para atlet—apalagi yang perempuan (saya normal). Mereka mengawinkan bagaimana target-target pencapaian prestasi mereka dengan sikap untuk mengakrabi kekalahan. Mereka bangun lebih awal, tidur lebih akhir, keringat lebih banyak bercucuran, otot dan tulang yang lebih banyak saling tarik, semangat berkali-kali disepuh, namun juga tak selalu menang. Tapi ya kemudian biasa saja. Emosional sejenak, lalu kembali melangkah. Karena—sekali lagi—bagaimanapun, hidup akan terus berjalan.

Padahal menjadi atlet itu bukan pilihan yang gampang. Sudah bersusah payah untuk mencapai target-target prestasi, kadang juga masih sering kalah, kebanyakan juga kurang mendapat jaminan yang layak. Cerita soal mantan atlet yang kehidupan di hari tuanya sering tidak terjamin, jamak kita dapati. Tentu saja saya tidak berhak memberi klaim bahwa mereka tidak bahagia. Memangnya siapa saya. Indeks kebahagiaan mereka saya juga belum paham benar ukurannya.

Namun, bisa jadi justru mereka berbahagia sebab memiliki kemampuan menerima kenyataan hidup dengan khidmat. Dan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup (yang pahit) itu tidak dimiliki semua orang. Itulah kenapa saya sangat menyukai cerita-cerita minor. Cerita tentang orang-orang kalah. Cerita yang jauh dari tempik sorai. Cerita yang asing dari tepuk tangan yang riuh dan glorifikasi-glorifikasi. Dari cerita semacam itu, saya kerap belajar bagaimana tersenyum getir terhadap hidup yang memang tak selamanya manis. Namanya juga hidup.

Maka kemampuan untuk menerima kenyataan hidup ini layak dipelajari dengan baik. Tujuannya tentu saja, agar dimensi kebahagiaan tidak hanya diartikan dengan terpenuhinya semua keinginan. Agar motivasi yang diusung tidak hanya bagaimana mencapai target dengan mengalahkan liyan, namun juga bagaimana kita menyiapkan diri untuk menerima hal-hal pahit. Agar kekalahan tidak melulu dianggap aib, namun sebuah medium untuk meningkatkan kualitas diri (duh, saya sok serius sekali). Dan sport, paham benar akan konsep ini. Setidaknya dari cabang sport paling tersohor di jagad: sepakbola. Dari lini ini saya mengingat ucapan Andriy Shevchenko, eks bomber AC Milan dari Kiev, “Tanpa kekalahan-kekalahan, Anda tidak akan bisa benar-benar menikmati indahnya kemenangan.”

Namun saya juga tidak menjamin orang-orang yang berkutat di dunia sport pasti memiliki hati yang legowo untuk menerima segala kenyataan hidup. Sama halnya bahwa sebaliknya, orang-orang yang jarang berolahraga juga belum tentu tidak mengamalkan hal ini. Setidaknya kita bisa simak ungkapan puitis dari Chairil Nawar, penyair legendaris negeri ini yang dikenal memiliki bengek dan penyakit paru kronis.  Di sajak Derai-Derai Cemara, “Hidup hanya menunda kekalahan,” kata Chairil. Ia menambahkan, “Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah.”

Entahlah, mungkin saya berlebihan sehingga kelebat pikiran saya harus tumpah menjadi tulisan ini. Atau bisa jadi ini karena saya sekadar kurang ngopi. Tapi omongan seorang kawan—entah dia mencomot dari siapa, terus bergaung di telinga saya. Kata kawan saya itu, “Di atas luka, manusia menjadi sempurna”. Nah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar