![]() |
Gambar diambil dari sini |
Entah
saya benar atau tidak, tapi saya merasa bahwa hidup terlalu sering hanya
dimaknai sebagai laku untuk mendapatkan hal-hal yang kita impikan. Hidup kerap sekadar
dibaca sebagai sebuah perjalanan dari satu angan ke angan lain, mewujudkannya
menjadi perkara yang nyata, merancang gerak demi gerak, menggapai cita-cita,
mengejawantahkan impian. Terus menerus kita dihela ritus demikian.
Berkali-kali. Berulang-ulang.
Lalu
apa yang menjadi soal? Apakah itu perkara yang salah? Lancang betul saya jika
berani menyalahkan perkara itu. Tentang hidup yang dimaknai dengan terus
bergerak untuk mencapai target demi target, tentu saja saya sepakat. Tanpa
bersikap demikian, hidup mirip biduk di tengah laut. Terombang-ambing tanpa
kejelasan.
Tapi
kita kerap lalai untuk mengkhidmati, bahwa hidup juga perihal menerima. Yang
saya maksud di sini adalah menerima hal-hal yang terjadi dan mendera. Ihwal
ini, saya rasa kurang mendapat kurang porsi yang seimbang, apalagi di era yang
sekarang yang semuanya serba praktis, instan, dan semua hal bisa melaju sangat
cepat. Yang menjadi tolok ukur kualitas hidup seringkali adalah
pencapaian-pencapaian, bukan kemampuan untuk menerima yang terjadi, kemudian
kembali melangkah. Karena bagaimanapun, hidup akan terus berjalan.
Dalam
nujum saya, ini mungkin karena kita kurang berolahraga. Lebih tepatnya, kurang sporty..eh..sportif. Kurang menghayati
nilai-nilai sport. Maka saya selalu
senang melihat para atlet—apalagi yang perempuan (saya normal). Mereka
mengawinkan bagaimana target-target pencapaian prestasi mereka dengan sikap
untuk mengakrabi kekalahan. Mereka bangun lebih awal, tidur lebih akhir,
keringat lebih banyak bercucuran, otot dan tulang yang lebih banyak saling
tarik, semangat berkali-kali disepuh, namun juga tak selalu menang. Tapi ya
kemudian biasa saja. Emosional sejenak, lalu kembali melangkah. Karena—sekali lagi—bagaimanapun,
hidup akan terus berjalan.
Padahal
menjadi atlet itu bukan pilihan yang gampang. Sudah bersusah payah untuk
mencapai target-target prestasi, kadang juga masih sering kalah, kebanyakan
juga kurang mendapat jaminan yang layak. Cerita soal mantan atlet yang
kehidupan di hari tuanya sering tidak terjamin, jamak kita dapati. Tentu saja
saya tidak berhak memberi klaim bahwa mereka tidak bahagia. Memangnya siapa
saya. Indeks kebahagiaan mereka saya juga belum paham benar ukurannya.
Namun,
bisa jadi justru mereka berbahagia sebab memiliki kemampuan menerima kenyataan
hidup dengan khidmat. Dan kemampuan untuk menerima kenyataan hidup (yang pahit)
itu tidak dimiliki semua orang. Itulah kenapa saya sangat menyukai
cerita-cerita minor. Cerita tentang orang-orang kalah. Cerita yang jauh dari
tempik sorai. Cerita yang asing dari tepuk tangan yang riuh dan
glorifikasi-glorifikasi. Dari cerita semacam itu, saya kerap belajar bagaimana
tersenyum getir terhadap hidup yang memang tak selamanya manis. Namanya juga
hidup.
Maka
kemampuan untuk menerima kenyataan hidup ini layak dipelajari dengan baik.
Tujuannya tentu saja, agar dimensi kebahagiaan tidak hanya diartikan dengan
terpenuhinya semua keinginan. Agar motivasi yang diusung tidak hanya bagaimana
mencapai target dengan mengalahkan liyan, namun juga bagaimana kita menyiapkan
diri untuk menerima hal-hal pahit. Agar kekalahan tidak melulu dianggap aib,
namun sebuah medium untuk meningkatkan kualitas diri (duh, saya sok serius sekali). Dan sport, paham benar akan konsep ini. Setidaknya dari cabang sport paling tersohor di jagad:
sepakbola. Dari lini ini saya mengingat ucapan Andriy Shevchenko, eks bomber AC
Milan dari Kiev, “Tanpa kekalahan-kekalahan, Anda tidak akan bisa benar-benar
menikmati indahnya kemenangan.”
Namun
saya juga tidak menjamin orang-orang yang berkutat di dunia sport pasti memiliki hati yang legowo
untuk menerima segala kenyataan hidup. Sama halnya bahwa sebaliknya, orang-orang
yang jarang berolahraga juga belum tentu tidak mengamalkan hal ini. Setidaknya
kita bisa simak ungkapan puitis dari Chairil Nawar, penyair legendaris negeri
ini yang dikenal memiliki bengek dan penyakit paru kronis. Di sajak Derai-Derai
Cemara, “Hidup hanya menunda kekalahan,” kata Chairil. Ia menambahkan, “Dan
tahu, ada yang tetap tidak terucapkan. Sebelum pada akhirnya kita menyerah.”
Entahlah,
mungkin saya berlebihan sehingga kelebat pikiran saya harus tumpah menjadi
tulisan ini. Atau bisa jadi ini karena saya sekadar kurang ngopi. Tapi omongan seorang kawan—entah dia mencomot dari siapa,
terus bergaung di telinga saya. Kata kawan saya itu, “Di atas luka, manusia
menjadi sempurna”. Nah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar