Sambil
menyeduh kopinya, seorang kawan bercerita kepada saya tentang keputusannya
untuk mengubah haluan dari penulis menjadi wirausahawan online.
“Alasannya
kelewat klise sebenarnya. Ketenangan. Bisnis online membuat saya lebih tenang
daripada menulis,” katanya dengan mimik muka yang sedikit cengengesan.
Kawan
saya itu, sebelumnya adalah seorang penulis semi-profesional. Masih ada aroma
amatirnya, sebab ia juga menulis untuk bersenang-senang (amateur: bersenang-senang—Bahasa
Perancis). Beberapa kali tulisannya pernah tembus ke harian nasional. Ia juga
sempat bekerja sebagai penulis lepas untuk beberapa proyek milik BUMN. Sekarang,
ia sama sekali tidak menulis.
Saya
juga punya kawan yang mempunyai kisah serupa. Dulu ia rajin menulis puisi.
Beberapa di antaranya dikirim ke majalah sastra dan dimuat. Tapi di suatu titik
hidupnya, dia memutuskan untuk memasung hasratnya berpuisi. Ia tak menggubah
syair satu pun. Hal-hal yang berbau kesusastraan pun ia singkirkan jauh-jauh
dari kehidupannya. “Saya capek,” katanya. Belakangan, ia rajin berpindah dari
satu kantor ke kantor lain untuk bekerja sebagai karyawan swasta. Menjalani
laku sebagaimana orang kebanyakan.
***
Bagi
sebagian orang, hidup tak ubahnya dengan perjalanan kutukan. Mereka yang
dikutuk adalah mereka yang dikaruniai sebuah cara lain memandang hidup,
mengakrabi kegelisahan, lalu merutuk karena mereka kerapkali tidak bisa berbuat lebih jauh lagi. Kutukan
yang demikian kerap menghinggapi orang-orang semacam seniman atau pekerja kreatif
lainnya, termasuk penulis. Mereka melihat hidup dengan cara yang berbeda, lalu
menjumpai hal-hal yang menggesek kegelisahan mereka, terus mencari jawaban
dengan risau, dan akhirnya diwujudkan secara ekspresif dalam karya
masing-masing. Hasil karya yang lahir dari kegelisahan mereka memandang hidup
ini lantas dinikmati oleh orang lain yang mungkin pada mulanya tidak melihat
dengan cara yang sama dan tidak memiliki kegelisahan yang serupa.
Saya
pernah membaca wawancara Goenawan Mohamad, esais yang peragu itu, dengan
majalah Playboy. Dalam wawancara
tersebut, GM—panggilan akrabnya, berbagi kisah tentang penulisan esai-esai
legendarisnya yang termuat rutin setiap minggu di majalah Tempo dan dibendel
berjilid-jilid itu. Esai yang dinamainya Catatan
Pinggir (Caping) itu ternyata tertulis dengan proses yang tidak sederhana.
GM harus bergulat dengan keresahan-keresahannya, memeras otak dan perasaannya
sampai kusut, sebelum akhirnya setiap esai tuntas dan layak unggah. GM
mengungkapkan, bahwa menulis Caping juga tak ubahnya seperti mengunggah
kutukan-kutukannya sendiri. Caping—esai yang kadang terlalu sulit dimengerti
maksudnya itu, ditulis GM dengan proses kreatif sekitar 5 jam.
“Paling cepat 3 jam,” katanya.
Tentu
saja proses selama itu hanya berupa pertarungan GM melawan pendar monitor di
hadapannya. Belum terhitung pergulatannya setiap hari dengan keresahan dan
kutukan-kutukannya, sebelum akhirnya akhir pekan tiba, dan harus ada esai yang
harus diunggah.
Kutukan
semacam itu terus hinggap dan bisa jadi mengganggu, tapi orang-orang semacam GM
tidak bisa berbuat banyak. Maka alasan capek
yang diutarakan oleh kawan saya yang kedua itu tadi bisa jadi benar.
Rasanya menyenangkan sekaligus menyiksa menjadi orang yang bisa membaca
fenomena dengan cara yang berbeda sekaligus gelisah karena tidak bisa berbuat
apa-apa. Pada titik tertentu, mereka memilki kutukan semacam itu memilih
memutus rantai dengan meninggalkan jalan kegelisahan mereka. Pada kasus dua
kawan saya tadi, mereka memilih keluar dari jalan menulis yang sunyi. Bergabung
pada barisan yang memilih jalan untuk menghadapi realitas hidup sehari-hari.
Tapi
sebenarnya saya mengapresiasi pilihan dua kawan saya tadi. Pertama, melepas
kutukan semacam itu bukan perkara yang gampang. Dibutuhkan keberanian yang awet
dan keteguhan tekad yang sedikit bebal untuk bisa keluar dari jalan yang mereka
pilih. Kedua, saya jadi sering berpikir, betapa hidup itu perkara yang lucu dan
menggemaskan. Sebab, jangan-jangan, realitas hidup sehari-hari itu adalah
jawaban yang sesungguhnya dari kegelisahan dan cara pandang lain yang saya
ceritakan tadi? Artinya kita digoda oleh Tuhan untuk melewati jalan yang
penuh dengan kegelisahan, dibukakan cara pandang yang berbeda, namun sebenarnya
kita tidak perlu ke mana-mana selain menghayati laku hidup sehari-hari?
Ini mirip dengan cerita menarik
antara seorang pengusaha sukses dan seorang nelayan tua:
Alkisah, seorang pengusaha tengah berdiri di tepi pantai dan memandang ke arah laut, ketika seorang nelayan merapatkan perahunya.
“Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menangkap ikan sebanyak ini?,” tanya pengusaha kepada nelayan.
“Tidak lama, cukup 5 jam,” jawab nelayan.
“Mengapa tidak pergi lebih lama dan menangkap lebih banyak lagi?”
“Ini sudah cukup buat keluargaku.”
“Apa yang Anda lalukan di luar waktu menangkap ikan?”
“Bermain dengan anak-anakku, tidur siang, makan siang bersama keluargaku, berjalan-jalan di desa, bermain gitar dan ngobrol dengan teman-temanku – hidup yang begitu kunikmati.”
“Aku punya ide untuk membantumu,” ujar si pengusaha.
“Aku lulusan master dari Harvard. Saranku, habiskan waktu lebih banyak untuk menangkap ikan, beli perahu yang lebih besar, dapatkan lebih banyak uang, beli lagi beberapa perahu. Jangan jual ikan ke perantara, jual langsung ke pengolahan sampai anda memiliki pabrik sendiri. Kendalikan produk, distribusi dan produksinya. Setelah itu, Anda pindah ke kota besar, kemudian ke luar negeri untuk mengembangkan usaha ini.”
“Menarik. Tapi berapa lama waktu dibutuhkan supaya aku bisa seperti itu?” tanya nelayan yang mulai tertarik.“Lima belas tahun paling cepat. Dua puluh tahun paling lambat,” jawab si pengusaha.
“Setelah itu apa, Pak?”
“Inilah bagian yang paling menarik. Anda bisa menjual saham perusahaan di bursa dan menghasilkan uang miliaran.”
“Wah, miliaran ya. Lalu apa setelah itu Pak?”
“Lalu Anda bisa istirahat dan pulang ke rumah. Pindah ke desa kecil di tepi laut, memancing, bermain dengan anak-anak, tidur siang, makan bersama istri, berjalan-jalan di desa, main gitar serta ngobrol dengan teman-teman dekat”, jawabnya
“Bukankah itu yang sudah saya lakukan sekarang, kenapa mesti menunggu 15-20 tahun?”
Nelayan itu berlalu meninggalkan pengusaha sambil tersenyum.
Tulisan
ini sebenarnya juga lahir dari rahim keresahan. Kegelisahan untuk mengunggah pertanyaan sekaligus mencoba menjawabnya sendiri: bahwa sebenarnya seperti ujar
teman saya, hidup adalah perkara terhubungnya dua titik, namun kita seringkali
mengambil jalan memutar.
Maka
kepada mereka yang memberanikan diri memenggal siklus dan mengibiri keresahannya,
saya menaruh takzim yang dalam, sekaligus rasa iri yang membuncah.
Kendati saya
paham, bahwa belum tentu juga hal itu benar.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Oh ya, di sana anda bisa dengan bebas mendowload music, foto-foto, video dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)