Selasa, 27 Mei 2014

Kue untuk Akber Jember


Saya masih mengenang hari itu. Dua tahun yang lalu. Sebuah sore di hari Sabtu, di sebuah selasar warung-warung yang sederhana, di halaman belakang kampus FISIP Universitas Jember. Dibantu Cak Oyong dan Rahmad, saya mempersiapkan kelas pertama Akademi Berbagi (Akber) Jember . Kami bertiga adalah relawan pertama Akber Jember. Ditambah lagi satu orang bernama Arman Dhani yang waktu itu datang ke kelas pertama dengan wajah kusut usai bangun tidur.

Usai bersiap-siap, saya duduk dengan menggenggam secangkir kopi. Kopi saya hampir dingin, disaput kecemasan. Bangku-bangku berderet kosong. Saya melirik arloji di tangan kanan. Berharap detik melambat, agar waktu merambat pelan. Agar kelas tak segera dimulai, karena belum ada yang datang. Saya melirik kepada Rahmad dan Dhani—mencoba menebak perasaan mereka, sambil mengutak-atik laptop.  

Pelan-pelan, kecemasan saya menghilang ketika satu per satu peserta kelas hadir. Walau kelas tidak terisi penuh sesak, tapi itu melegakan saya. Kecemasan saya benar-benar hilang ketika melihat pemuda yang mengenakan kemeja flanel berwarna biru datang menuju kelas. Dia adalah Ayos—guru kelas kala itu, yang datang dengan sedikit tergopoh karena menyadari dirinya terlambat.

Sebuah kelas perdana yang tidak buruk, menurut saya. Secara umum, semuanya berjalan dengan lancar. Ayos bicara banyak tentang creative writing, saya menjadi moderator, Arman Dhani mengetik untuk kultwit, Rahmad berbaur di antara peserta kelas untuk memfasilitasi peserta kelas. Kelas perdana usai, kecemasan saya menghilang tanpa bekas.

Time flies so fucking fast. Itu sudah dua tahun yang lalu. Setelah kelas perdana itu, Akber Jember terus berjalan dengan segala dinamika perjalanannya. Hingga kini. Tentu saja banyak hal yang tidak mengenakkan terjadi. Beberapa relawan kemudian “berhenti”. Selanjutnya hanya tersisa saya dan Cak Oyong. Jadwal kelas juga menjadi tidak teratur. Tapi saya dan Cak Oyong memilih untuk tetap berjalan. Toh, dari Akber Jember, saya juga mendapatkan banyak hal.  Mulai dari relasi, ilmu, wawasan, kepekaan sosial, dan banyak hal lagi. Sehingga pilihan berhenti kami benamkan dalam-dalam.

Tadi kami merayakan ulang tahun Akber Jember yang ke-2. Sebenarnya, saya adalah orang yang kurang begitu peduli dengan perkara seremonial, semacam perayaan ulang tahun. Perkara itu, saya selalu mengusung apologi bahwa semua hari harus dikhidmati dengan laku yang sebaik-baiknya. Carpe diem adalah mantra yang harus dirapal setiap hari. Sehingga perihal perayaan ulang tahun, adalah urusan yang sekadar menyentuh permukaan dan niresensi. Tapi sisi lain dalam diri saya juga kerap membantah. Tak ada salahnya merayakan momen-momen penting, termasuk ulang tahun. Bukan sekadar bergenit-genit. Namun menjadikannya sebagai pengingat. Tak bisa dipungkiri, kenangan adalah tonggak yang diciptakan manusia untuk melawan kutukan hidup bernama lupa.

Sekarang wajah Akber Jember sudah berubah, kendati masih mengusung nilai-nilai yang sama. Akber Jember sekarang lebih “segar”. Suntikan ide dan kreativitas dari relawan-relawan baru yang hadir setelah saya dan Oyong, menjadi sebabnya. Bagaimanapun, hal itu harus diakui dan diapresiasi. Niat baik mereka untuk memberi sumbangsih buat Akber Jember harus diberi ruang. Saya banyak belajar dari mereka. Saya juga memutuskan mundur dari posisi kepala sekolah untuk belajar dipimpin.

Langkah Akber Jember kini lebih tegap, tak lagi gontai. Jadwal kelasnya lebih teratur. Akber Jember juga lebih bisa diterima dan lebih dikenal khalayak. Kendati tentu saja, perjalanannya juga tak sekadar berisi hal-hal yang sesuai dugaan.

Tentu saja saya menaruh harapan kepada Akber Jember. Agar mereka yang tergabung di dalamnya dapat lebih saling menguatkan sehingga perjalanan bisa ditempuh kian jauh, kian memberi makna.

Usai kelas Akber Jember, saya menulis catatan ini. Sebelumnya saya membaca kompilasi catatan perjalanan beberapa penulis yang kini sedang populer. Di halaman-halaman belakang, saya menemukan dialog yang unik dari catatan Windy Ariestanty yang berjudul Menerjemahkan Bahagia

“Jadi, berapa persen kamu mencintai Ubud?”

“Hm, tujuh puluh persen. Tiga puluh persennya untuk rasa ‘merindukan’”

Saya tersenyum membaca dialog itu. Membayangkan ketika kelak ada yang bertanya kepada saya, “Berapa persen kamu mencintai Akber Jember?”, mungkin saya kan menjawab dengan jawaban yang mirip.

Tujuh puluh persen adalah jawaban yang realistis. Sisanya saya anggarkan untuk perasaan ketika menyambangi tonggak-tonggak pengingat bernama kenangan, untuk kegelisahan-kegelisahan, serta untuk harapan agar perjalanan menjadi lebih baik.

Ibarat kue, tujuh puluh persen adalah kue yang komposisinya pas. Tidak terlalu banyak pemanis yang menggemukkan. Tapi tetap enak dimakan dan mengenyangkan.

Tujuh puluh persen barangkali adalah kue ulang tahun dari saya untuk Akber Jember.

Selamat ulang tahun, Akber Jember..