Senin, 25 Agustus 2014

Mereguk Hakikat Air



 
Gambar diambil dari sini

Berabad-abad silam, tersebutlah seorang saudagar yang lantas menjadi seorang filsuf bernama Thales. Filsuf yang berasal dari negeri Yunani itu dianggap sebagai “Bapak Para Filsuf” berkat gagasan-gagasan dan buah pikirannya. Salah satu pernyataan yang dikenal sebagai hasil buah pikiran Thales adalah bahwa dasar, pokok dan pangkal tersusunnya alam semesta adalah karena adanya sebuah materi unik bernama air. Menurut Thales, tanpa adanya air, alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak akan berlangsung. Thales bahkan sempat berpendapat bahwa bumi dan seluruh isinya menyembul dari sebuah permukaan air yang maha luas. 

Kendati teori Thales dianggap bermasalah, namun tetap tidak bisa ditampik bahwa kehidupan bila tiada air akan menjadi kehidupan yang terhenti. Kehidupan manusia pun, apabila terpisah dari air akan menjadi kehidupan yang tidak memiliki arti. Betapa tidak, air adalah penggerak kehidupan manusia. Di dalam tubuh manusia—yang kerap dianalogikan sebagai miniatur alam semesta, porsi 60 persen terdiri dari cairan yang memiliki beragam fungsi vital. Mulai dari fungsi untuk mengangkut zat makanan ke dalam sel, mengeluarkan buangan sel, terlibat aktif dalam proses metabolisme sel, sebagai pelarut untuk elektrolit, memelihara suhu tubuh, hingga sebagai  pengangkut zat-zat penting macam hormon dan enzim. 

Fungsi cairan tubuh  memang begitu penting dalam memenuhi kebutuhan fisiologis  manusia. Manusia membutuhkan asupan air terus menerus sepanjang hidupnya, agar komposisi cairan tubuh selalu cukup. Kurangnya asupan air akan merusak keseimbangan hidup yang ada  di tingkat yang paling dasar sekalipun, yakni tingkat sel. Sel yang rusak akan membuat organ menjadi rusak. Organ yang rusak akan mempengaruhi kinerja organ yang lain, sehingga tubuh pun akan rusak.  

Menariknya, tidak ada mekanisme cadangan air di dalam tubuh manusia. Air harus senantiasa diasup. Kebutuhan manusia akan air adalah kebutuhan mutlak dan tanpa tawar.
Kenyataan bahwa air adalah sebuah kebutuhan mutlak dan tanpa tawar, membuat manusia harus cermat dalam mengonsumsi air sebagai bahan asupan utama untuk tubuh.  Sebab pola konsumsi air yang salah malah justru menimbulkan masalah baru.  Pengolahan dan konsumsi air yang kurang tepat justru akan menjadi pencetus penyakit. Hampir 50 persen penyakit yang diderita masyarakat secara umum masih disebabkan oleh air minum yang tercemar. 

Berangkat dari data yang dilansir oleh World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa ada sekitar 1,8 milliar penduduk dunia ternyata masih mengonsumsi air yang tercemar tinja. Masih menurut WHO (2006), dalam satu dekade terakhir, rata-rata 50.000 orang meninggal per hari karena penyakit yang berkaitan dengan air tak bersih. Salah satu penyakit yang dianggap menjadi dampak buruk dari hal tersebut adalah penyakit diare. Diare bukanlah perkara sepele. Sekitar 502.000 orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berkaitan dengan diare. Di Indonesia, diare merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak di bawah lima tahun. Setiap tahunnya, sekitar 13 juta anak di negeri ini mengalami diare. 

Para pakar kesehatan sepakat bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, air bersih dan berkualitas baik adalah unsur paling penting. Air bersih  layak diminum dan menjadi konsumsi tubuh manusia jika memenuhi persyaratan mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif yang dimuat dalam tolok ukur wajib dan tolok ukur tambahan. 

Tolok ukur  mikrobiologi, misalnya, menetapkan bahwa air tidak boleh mengandung kuman E Coli maupun bakteri koliform. E Coli adalah salah satu indikator utama mutu dan keamanan air minum. Bakteri yang memiliki habitat alami di dalam usus manusia ini adalah salah satu penyebab berbagai macam penyakit pencernaan pada manusia. Jika tidak ditemukan bakteri E Coli  pada air minum, maka kecil ditemukan patogen lain di dalam air minum tersebut yang menyebabkan penyakit pada manusia. Contoh penyakit yang dimaksud adalah diare, tipus, hingga hepatitis. 

Sedangkan tolok ukur kimia merupakan batasan ambang zat-zat kimia yang boleh terdapat pada air minum. Unsur yang dinilai mulai derajat keasaman (Ph), kandungan nitrat dan nitrit, kandungan sulfat, kadar zat besi, flourida, hingga tingkat kesadahan air (CaCo3).
Namun menengok data tentang air bersih beberapa daerah di negeri ini beberapa tahun ke belakang, tampak gambaran air bersih kita yang masih sangat memprihatinkan. Dari tolok ukur mikrobiologi maupun tolok ukur  kimia, kondisi air bersih di negara kita masih memprihatinkan. 

Berdasarkan penelitian tahun 2008, 100 persen  sampel air bersih di Jakarta dibuktikan terkontaminasi bakteri koliform. Data yang sama juga ditemukan pada Kota Bekasi dan Kota Bogor. 

Sebelumnya, di tahun 2004, penelitian di Kota Palembang menunjukkan bahwa 21 persen  depot air minum isi ulang di kota tersebut tercemar koliform. Bandung punya data lain, soal tingginya kandungan logam Fe (besi) di sumber air minum. Pada beberapa titik cekungan seperti di daerah Ujung Berung Utara, Antapani, dan Sadang Serang memiliki kadar Fe antara 3-10 kali ambang batas. Data semakin lengkap bahwa Kejadian Luar Biasa (KLB) diare di 16 propinsi yang dilaporkan oleh World Bank tahun 2006 ternyata disebabkan oleh sumber air minum yang terpapar bakteri E Coli yang berasal dari tinja manusia dan hewan. 

Krisis air bersih di Indonesia bukan hanya menjadi masalah dalam beberapa tahun terakhir saja. Permasalahan air bersih ini terus kita hadapi bahkan sedari jaman pendudukan Belanda lewat serikat dagangnya saat itu (VOC). Sebagai contoh, menurut Susan Blackburn (dulunya bernama Susan Abeyasekere) dalam bukunya Jakarta: A History, di Batavia terjadi krisis air bersih karena Gubernur Jendral VOC kala itu (Jan Pieterzoon Coen) salah strategi dalam membangun Batavia dengan memberikan beban hidrolis yang kelewat besar terhadap Kali Ciliwung. Akibatnya, ketika kemarau, terjadi persoalan kekurangan air bersih yang berdampak pada mewabahnya penyakit malaria. Padahal seabad sebelum itu, seorang penulis asal Perancis bernama Jean-Baptiste Tavernier menyanjung air di Kali Ciliwung  dengan ungkapan “la plus belle eau et la meillure qui soit au monde” (air  yang paling baik dan bersih sedunia). 

Di tahun ini, diharapkan air bersih di Indonesia dapat dijangkau oleh 67 persen penduduk. Angka tersebut masih di bawah sasaran pembangunan milenium yang memancang target jangkauan air bersih oleh penduduk adalah 69 persen. Artinya, perkara air bersih memang masih belum tersedia secara optimal untuk masyarakat hingga  sekarang.  Ini adalah persoalan yang membutuhkan perhatian dalam porsi besar dari semua kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat. Perhatian itu lantas diharapkan dapat membuahkan solusi untuk mengatasi permasalahan air yang bersih, sehat dan layak minum. 

Solusi dari Semua Pihak

Data yang tersaji soal betapa buruknya kualitas sumber air bersih ini tak pelak menuntut sekian bentuk solusi. Solusi yang digagas hendaknya memerhatikan kepentingan banyak pihak, mengingat air adalah sumber daya yang dibutuhkan oleh semua orang. 

Pertama, dengan meningkatkan kualitas pengolahan sumber air itu sendiri. Ini bisa diawali dengan manajemen ekosistem. Pengolahan sumber air hendaknya berorientasi pada kelestarian lingkungan.  Ini bisa diintegrasikan dengan beberapa pihak terkait macam mereka yang bergiat di bidang peternakan, kehutanan, pertanian, manajemen tepi sungai. Pengolahan sumber air yang berorientasi pada lingkungan dan dengan manajemen ekosistem yang baik akan menjauhkan sumber air dari paparan polutan dari limbah industri maupun rumah tangga yang berimbas pada kualitas air itu sendiri. Secara khusus, agar limbah tidak sampai pada sumber air, bisa dilakukan diversifikasi limbah. Proses ini adalah upaya pemanfaatan potensi limbah agar menjadi bernilai secara sumber daya. Misalnya, pemanfaatan limbah untuk biogas. 

Kedua, upaya monitoring yang konsisten. Langkah ini akan melibatkan pihak pemerintah yang harus aktif dalam hal ini. Sesuai PP No. 82 tahun 2001  tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pemerintah berwenang menetapkan daya tampung beban pencernaan, melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar, memantau kualitas air dan memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Dalam hal ini, pemerintah bisa menjalin kerjasama dengan melibatkan sektor publik dan swasta. 

Payung hukum lainnya yang bisa digunakan untuk upaya pengawasan yang konsisten adalah Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 tahun 2002 tentang Syarat-syarat  dan Pengawasan Kualitas Air Minum, UU no 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, serta Peraturan Pemerintah No. 16 tentang Pengembangan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum).

Ketiga, upaya peningkatan kesadaran dan pendidikan bagi masyarakat.  Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hubungan air limbah dengan masyarakat, fungsi ekosistem, atau justru tentang potensi di balik limbah yang bisa dikelola untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pendekatan yang dipilih bisa beragam dan sangat tergantung dengan potret sosial budaya, profil lingkungan, atau justru potensi ekonomi masyarakat itu sendiri. 

Kesadaran yang juga harus tertanam dan tumbuh bagi masyarakat adalah kesadaran dalam hal pemanfaatan dan pola konsumsi air. Sebagai sumber daya yang paling penting dalam hidup manusia, air  tidak lantas dikonsumsi dengan boros, tamak dan serakah. Dengan pola konsumsi air yang hemat, maka tingkat kebutuhan air layak konsumsi  juga bisa lebih terkendali. Dampaknya, pengelolaannya lebih mudah dan menguntungkan bagi semua pihak.
Tak hanya itu, implikasi dari meningkatnya kesadaran dan pendidikan bagi masyarakat dalam hal pengelolaan sumber air adalah terwujudnya kemandirian masyarakat dalam skala paling kecil sekalipun, tapi berdampak besar terhadap kelangsungan terjaganya sumber air. Misalnya, masyarakat mampu membuat sumur resapan di dekat bangunan tempat tinggalnya masing-masing. Sumur resapan ini dapat mencegah air hujan terbuang begitu saja menuju air laut, sehingga terdapat cadangan air di dalam tanah.

Keempat, meningkatkan produksi dan kualitas teknologi terapan yang sesuai dalam hal pengolahan air. Teknologi yang dimaksud bisa mulai dari teknologi desalinasi (mengubah air laut menjadi air tawar untuk konsumsi) hingga teknologi filtrasi air untuk membuat air layak konsumsi sesuai tolok ukur kimawi, mikrobiologi, serta radioaktif.

Merawat Air, Merawat Kehidupan

Kondisi air bersih di Indonesia  yang masih belum sesuai harapan selayaknya tidak lantas membuat kita menjadi apatis dan enggan turut aktif dalam mengatasi permasalahan vital ini. Semua selayaknya sepakat, betapa  air berperan penting dalam menentukan masa depan sebuah bangsa. Bangsa yang maju ditopang oleh manusia-manusia yang sehat. Dan manusia-manusia yang sehat bergantung terhadap air yang dikonsumsi. Hakikat air adalah perkara berdiri tegaknya sendi-sendi kehidupan. Perihal ini, saya mengamini pasase (penggalan tulisan) dari ahli biokimia asal Hungaria meraih Nobel Kedokteran tahun 1937, Albert Szent Gyorgi, yang berujar, “Tiada air, maka tiada hidup”. 

Mari menyadari, merawat air adalah merawat kehidupan. 

*Tulisan ini diikutkan dalam Anugerah Jurnalistik AQUA (AJA) IV kategori Blogger yang diselenggarakan oleh AQUA dan Blogdetik. Tema lomba adalah Air dan Kehidupan, Untuk Indonesia yang Lebih Sehat”
================================================================= 
Beberapa sumber tulisan:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar