Gambar diambil dari sini |
Berabad-abad
silam, tersebutlah seorang saudagar yang lantas menjadi seorang filsuf bernama
Thales. Filsuf yang berasal dari negeri Yunani itu dianggap sebagai “Bapak Para
Filsuf” berkat gagasan-gagasan dan buah pikirannya. Salah satu pernyataan yang
dikenal sebagai hasil buah pikiran Thales adalah bahwa dasar, pokok dan pangkal
tersusunnya alam semesta adalah karena adanya sebuah materi unik bernama air.
Menurut Thales, tanpa adanya air, alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak
akan berlangsung. Thales bahkan sempat berpendapat bahwa bumi dan seluruh
isinya menyembul dari sebuah permukaan air yang maha luas.
Kendati
teori Thales dianggap bermasalah, namun tetap tidak bisa ditampik bahwa
kehidupan bila tiada air akan menjadi kehidupan yang terhenti. Kehidupan
manusia pun, apabila terpisah dari air akan menjadi kehidupan yang tidak
memiliki arti. Betapa tidak, air adalah penggerak kehidupan manusia. Di dalam
tubuh manusia—yang kerap dianalogikan sebagai miniatur alam semesta, porsi 60
persen terdiri dari cairan yang memiliki beragam fungsi vital. Mulai dari
fungsi untuk mengangkut zat makanan ke dalam sel, mengeluarkan buangan sel,
terlibat aktif dalam proses metabolisme sel, sebagai pelarut untuk elektrolit,
memelihara suhu tubuh, hingga sebagai
pengangkut zat-zat penting macam hormon dan enzim.
Fungsi cairan
tubuh memang begitu penting dalam memenuhi
kebutuhan fisiologis manusia. Manusia membutuhkan
asupan air terus menerus sepanjang hidupnya, agar komposisi cairan tubuh selalu
cukup. Kurangnya asupan air akan merusak keseimbangan hidup yang ada di tingkat yang paling dasar sekalipun, yakni
tingkat sel. Sel yang rusak akan membuat organ menjadi rusak. Organ yang rusak
akan mempengaruhi kinerja organ yang lain, sehingga tubuh pun akan rusak.
Menariknya, tidak
ada mekanisme cadangan air di dalam tubuh manusia. Air harus senantiasa diasup.
Kebutuhan manusia akan air adalah kebutuhan mutlak dan tanpa tawar.
Kenyataan bahwa
air adalah sebuah kebutuhan mutlak dan tanpa tawar, membuat manusia harus cermat
dalam mengonsumsi air sebagai bahan asupan utama untuk tubuh. Sebab pola konsumsi air yang salah malah justru
menimbulkan masalah baru. Pengolahan dan
konsumsi air yang kurang tepat justru akan menjadi pencetus penyakit. Hampir 50
persen penyakit yang diderita masyarakat secara umum masih disebabkan oleh air
minum yang tercemar.
Berangkat dari
data yang dilansir oleh World Health
Organization (WHO) yang menyatakan bahwa ada sekitar 1,8 milliar penduduk
dunia ternyata masih mengonsumsi air yang tercemar tinja. Masih menurut WHO
(2006), dalam satu dekade terakhir, rata-rata 50.000 orang meninggal per hari karena
penyakit yang berkaitan dengan air tak bersih. Salah satu penyakit yang dianggap
menjadi dampak buruk dari hal tersebut adalah penyakit diare. Diare bukanlah
perkara sepele. Sekitar 502.000 orang meninggal setiap tahun karena penyakit
yang berkaitan dengan diare. Di Indonesia, diare merupakan penyebab kematian
terbesar kedua bagi anak di bawah lima tahun. Setiap tahunnya, sekitar 13 juta
anak di negeri ini mengalami diare.
Para
pakar kesehatan sepakat bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat,
air bersih dan berkualitas baik adalah unsur paling penting. Air bersih layak diminum dan menjadi konsumsi tubuh
manusia jika memenuhi persyaratan mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif yang
dimuat dalam tolok ukur wajib dan tolok ukur tambahan.
Tolok
ukur mikrobiologi, misalnya, menetapkan
bahwa air tidak boleh mengandung kuman E
Coli maupun bakteri koliform. E Coli adalah salah
satu indikator utama mutu dan keamanan air minum. Bakteri yang memiliki habitat
alami di dalam usus manusia ini adalah salah satu penyebab berbagai macam
penyakit pencernaan pada manusia. Jika tidak ditemukan bakteri E Coli
pada air minum, maka kecil ditemukan patogen lain di dalam air minum
tersebut yang menyebabkan penyakit pada manusia. Contoh penyakit yang dimaksud
adalah diare, tipus, hingga hepatitis.
Sedangkan tolok
ukur kimia merupakan batasan ambang zat-zat kimia yang boleh terdapat pada air
minum. Unsur yang dinilai mulai derajat keasaman (Ph), kandungan nitrat dan
nitrit, kandungan sulfat, kadar zat besi, flourida, hingga tingkat kesadahan
air (CaCo3).
Namun menengok
data tentang air bersih beberapa daerah di negeri ini beberapa tahun ke
belakang, tampak gambaran air bersih kita yang masih sangat memprihatinkan.
Dari tolok ukur mikrobiologi maupun tolok ukur
kimia, kondisi air bersih di negara kita masih memprihatinkan.
Berdasarkan
penelitian tahun 2008, 100 persen sampel
air bersih di Jakarta dibuktikan terkontaminasi bakteri koliform. Data yang
sama juga ditemukan pada Kota Bekasi dan Kota Bogor.
Sebelumnya, di
tahun 2004, penelitian di Kota Palembang menunjukkan bahwa 21 persen depot air minum isi ulang di kota tersebut
tercemar koliform. Bandung punya data lain, soal tingginya kandungan logam Fe
(besi) di sumber air minum. Pada beberapa titik cekungan seperti di daerah
Ujung Berung Utara, Antapani, dan Sadang Serang memiliki kadar Fe antara 3-10
kali ambang batas. Data semakin lengkap bahwa Kejadian Luar Biasa (KLB) diare
di 16 propinsi yang dilaporkan oleh World
Bank tahun 2006 ternyata disebabkan oleh sumber air minum yang terpapar
bakteri E Coli yang berasal dari
tinja manusia dan hewan.
Krisis air bersih
di Indonesia bukan hanya menjadi masalah dalam beberapa tahun terakhir saja.
Permasalahan air bersih ini terus kita hadapi bahkan sedari jaman pendudukan
Belanda lewat serikat dagangnya saat itu (VOC). Sebagai contoh, menurut Susan
Blackburn (dulunya bernama Susan Abeyasekere) dalam bukunya Jakarta: A History, di Batavia terjadi
krisis air bersih karena Gubernur Jendral VOC kala itu (Jan Pieterzoon Coen)
salah strategi dalam membangun Batavia dengan memberikan beban hidrolis yang
kelewat besar terhadap Kali Ciliwung. Akibatnya, ketika kemarau, terjadi
persoalan kekurangan air bersih yang berdampak pada mewabahnya penyakit
malaria. Padahal seabad sebelum itu, seorang penulis asal Perancis bernama
Jean-Baptiste Tavernier menyanjung air di Kali Ciliwung dengan ungkapan “la plus belle eau et la meillure qui soit au monde” (air yang paling baik dan bersih sedunia).
Di
tahun ini, diharapkan air bersih di Indonesia dapat dijangkau oleh 67 persen
penduduk. Angka tersebut masih di bawah sasaran pembangunan milenium yang
memancang target jangkauan air bersih oleh penduduk adalah 69 persen. Artinya,
perkara air bersih memang masih belum tersedia secara optimal untuk masyarakat
hingga sekarang. Ini adalah persoalan yang membutuhkan
perhatian dalam porsi besar dari semua kalangan, baik pemerintah maupun
masyarakat. Perhatian itu lantas diharapkan dapat membuahkan solusi untuk
mengatasi permasalahan air yang bersih, sehat dan layak minum.
Solusi dari Semua Pihak
Data yang tersaji
soal betapa buruknya kualitas sumber air bersih ini tak pelak menuntut sekian
bentuk solusi. Solusi yang digagas hendaknya memerhatikan kepentingan banyak
pihak, mengingat air adalah sumber daya yang dibutuhkan oleh semua orang.
Pertama, dengan meningkatkan kualitas pengolahan sumber air itu sendiri.
Ini bisa diawali dengan manajemen ekosistem. Pengolahan sumber air hendaknya
berorientasi pada kelestarian lingkungan.
Ini bisa diintegrasikan dengan beberapa pihak terkait macam mereka yang
bergiat di bidang peternakan, kehutanan, pertanian, manajemen tepi sungai. Pengolahan
sumber air yang berorientasi pada lingkungan dan dengan manajemen ekosistem
yang baik akan menjauhkan sumber air dari paparan polutan dari limbah industri
maupun rumah tangga yang berimbas pada kualitas air itu sendiri. Secara khusus,
agar limbah tidak sampai pada sumber air, bisa dilakukan diversifikasi limbah.
Proses ini adalah upaya pemanfaatan potensi limbah agar menjadi bernilai secara
sumber daya. Misalnya, pemanfaatan limbah untuk biogas.
Kedua, upaya monitoring yang
konsisten. Langkah ini akan melibatkan pihak pemerintah yang harus aktif dalam
hal ini. Sesuai PP No. 82 tahun 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air,
pemerintah berwenang menetapkan daya tampung beban pencernaan, melakukan
inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar, memantau kualitas air dan
memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Dalam hal ini,
pemerintah bisa menjalin kerjasama dengan melibatkan sektor publik dan swasta.
Payung hukum
lainnya yang bisa digunakan untuk upaya pengawasan yang konsisten adalah
Keputusan Menteri Kesehatan No. 907 tahun 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, UU no 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, serta Peraturan Pemerintah No. 16 tentang
Pengembangan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum).
Ketiga, upaya peningkatan kesadaran dan pendidikan bagi masyarakat. Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang hubungan air limbah dengan masyarakat, fungsi
ekosistem, atau justru tentang potensi di balik limbah yang bisa dikelola untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pendekatan yang dipilih bisa
beragam dan sangat tergantung dengan potret sosial budaya, profil lingkungan,
atau justru potensi ekonomi masyarakat itu sendiri.
Kesadaran yang
juga harus tertanam dan tumbuh bagi masyarakat adalah kesadaran dalam hal
pemanfaatan dan pola konsumsi air. Sebagai sumber daya yang paling penting
dalam hidup manusia, air tidak lantas
dikonsumsi dengan boros, tamak dan serakah. Dengan pola konsumsi air yang
hemat, maka tingkat kebutuhan air layak konsumsi juga bisa lebih terkendali. Dampaknya,
pengelolaannya lebih mudah dan menguntungkan bagi semua pihak.
Tak hanya itu,
implikasi dari meningkatnya kesadaran dan pendidikan bagi masyarakat dalam hal
pengelolaan sumber air adalah terwujudnya kemandirian masyarakat dalam skala
paling kecil sekalipun, tapi berdampak besar terhadap kelangsungan terjaganya
sumber air. Misalnya, masyarakat mampu membuat sumur resapan di dekat bangunan
tempat tinggalnya masing-masing. Sumur resapan ini dapat mencegah air hujan
terbuang begitu saja menuju air laut, sehingga terdapat cadangan air di dalam
tanah.
Keempat, meningkatkan produksi dan kualitas teknologi terapan yang sesuai
dalam hal pengolahan air. Teknologi yang dimaksud bisa mulai dari teknologi
desalinasi (mengubah air laut menjadi air tawar untuk konsumsi) hingga
teknologi filtrasi air untuk membuat air layak konsumsi sesuai tolok ukur
kimawi, mikrobiologi, serta radioaktif.
Merawat Air, Merawat Kehidupan
Kondisi air
bersih di Indonesia yang masih belum
sesuai harapan selayaknya tidak lantas membuat kita menjadi apatis dan enggan
turut aktif dalam mengatasi permasalahan vital ini. Semua selayaknya sepakat, betapa air berperan penting dalam menentukan masa
depan sebuah bangsa. Bangsa yang maju ditopang oleh manusia-manusia yang sehat.
Dan manusia-manusia yang sehat bergantung terhadap air yang dikonsumsi. Hakikat
air adalah perkara berdiri tegaknya sendi-sendi kehidupan. Perihal ini, saya
mengamini pasase (penggalan tulisan) dari ahli biokimia asal Hungaria meraih
Nobel Kedokteran tahun 1937, Albert Szent Gyorgi, yang berujar, “Tiada air,
maka tiada hidup”.
Mari menyadari, merawat
air adalah merawat kehidupan.
*Tulisan ini diikutkan dalam Anugerah Jurnalistik AQUA (AJA) IV
kategori Blogger yang diselenggarakan oleh AQUA dan Blogdetik. Tema lomba adalah “Air dan Kehidupan, Untuk Indonesia yang Lebih Sehat”
=================================================================
Beberapa sumber
tulisan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar