Sabtu, 05 Juli 2014

Ketika Tua






Pagi ini, ketika subuh mulai terusir dan fajar baru menjelang, kita bertemu. Kulitmu kini mengeriput, pipimu menggelambir, perutmu molor, dan gigimu banyak yang ompong. Rambutmu masih seperti dulu, pendek menggantung serendah leher—dan dulu kerap kubelai.

Aku mencoba memberanikan diri, mengumpulkan sisa-sisa nyali dalam badan yang kian meringkih, untuk mengecup keningmu. Jidat lebar yang membuat kita kerap berolok-olok. Dan tanganku yang kini kerap gemetar karena tremor, menggenggam erat tanganmu. Kita lalu berpelukan. Tak kuhitung berapa lama, aku malas mengakrabi hitungan waktu. Mengingat waktu hanya akan mengingat luka kita masing-masing. Aku hanya ingin hadir padamu saat ini. Itu saja. Nanti, aku tidak menjanjikan apa-apa, kecuali badan renta yang terus memancang ikrar di dalam hati: aku mencintaimu, entah sampai kapan.

Urung terwujud impianku untuk mati muda. Aku batal menjadi bagian dari kisah gagah anak-anak muda yang gagap mengeja hidup. Tapi tetap saja hingga sekarang, aku masih berharap agar diselamatkan dari usia yang terlampau panjang. Menjadi tua dan kesepian itu bisa dibilang..umm…menyedihkan.

Kau masih rajin merawat kukumu? Dulu aku pernah bilang padamu, bahwa tumbuhnya kuku mirip dengan perasaan ketika jatuh cinta. Perlahan-lahan, tak terlalu diperhatikan, tiba-tiba menumbuh begitu saja. Yang perlu diperhatikan adalah ketika mulai panjang, kuku harus dirawat akan tidak tajam melukai.

Perjalanan panjang yang dulu hendak kita tempuh, juga tidak terlakoni. Padahal aku ingin mengajakmu jalan-jalan ke  banyak tempat. Naik kereta api sepanjang perjalanan, berpindah-pindah hostel, menjajal bermacam-macam kuliner lokal, mengkhidmati subuh di tiap dermaga lalu menuliskan cerita bersama-sama. Menyusuri jejak kejayaan Majapahit di Mojokerto, berkelakar dan mengocok perut dengan naik angkot di Sawahlunto yang jalannya berkelok-kelok, menengok eksotiknya Vietnam, menikmati sore di sekitar Wat Arun sambil memberi makan ikan-ikan kecil, lalu malamnya menikmati suasana sungai Chao Praya dengan dinner cruise bersama. Atau belajar yoga di India. Lalu menjajal hidup dengan menjadi hippies berdua. Sedikit mirip dengan John Lennon dan Yoko Ono yang  sering aku ceritakan padamu.

Aku pernah menginginkan menjadi petani. Membayangkan betapa menyenangkannya menggarap lahan bersama orang-orang. Memiliki rumah di atas bukit. Kecil saja, tak usah terlalu besar agar kau tidak repot mengurus. Setiap senja temaram, kita berbincang-bincang membicarakan apa yang kita lalui sepanjang hari sambil minum teh bersama di teras rumah.

Orang-orang kerap bilang agar aku sebaiknya tak panjang angan-angan. Tak usah menanam harapan. Tapi tahu apa mereka soal kebaikan buatku? Kebenaran mungkin bisa menjadi klaim siapapun, tetapi kebaikan adalah tafsir pribadi. Aku yang tahu yang baik buatku, bukan mereka. Lagipula, tanpa harapan, apalagi yang aku punya? Mencintaimu memang sedari awal adalah mencintai harapan yang pupus.  Jadi maafkanlah aku yang keras kepala.

Sampai serenta ini, aku masih tetap menulis. Menulis adalah perkara keberanian, dan aku enggan tampak pengecut buatmu. Menulis juga upaya menggenapi janjiku kepadamu. Bahwa pada barisan kalam, aku titipkan doa-doa kebaikan buatmu. Menjaga kerinduan untuk terus tumbuh menjalar, namun tidak liar. Laku menulis memang menuntunku menuju paradoks. Menjagaku dalam kewarasan sekaligus meneguhkan kesintinganku.

Kau masih mematung. Mungkin sirkuit di otakmu sedang diderasi arus ingatan tentang kita. Memutar kisah yang pernah kita lalui. Memunculkan frame demi frame kenangan yang tiba-tiba berkelebat. Tapi bibirmu tak berucap. Hanya bergetar. Kau lantas mengekspresikan kegagapan gestur dengan memelukku erat—menyandarkan kepala di bahuku.

Kau perlu tahu, bahwa ingatan dan kenangan tidak benar-benar lenyap lalu tiba-tiba muncul kembali sesekali karena kita paksa hadir atau justru tanpa kita sadari. Ingatan dan kenangan juga bisa menjadi energi tak kasat mata yang meneguhkan langkah.

“Kau terlalu banyak bicara,” katamu dengan sedikit menyebalkan, tapi tetap manis.

“Lalu?” tanyaku.

“Bernyanyilah. Lantunkan lagu untuk menghiburku, agar kesedihanku terusir.”

Aku terbata-bata menyanyikan lagu kesukaanmu. Kau tak ikut bernyanyi. Hanya memejamkan mata, sambil menyunggingkan senyum di ujung bibir. Di sudut pelupuk matamu yang keriput, menyembul buliran air mata. Uapnya memanjat ke langit pagi, harumnya kesturi. Sambil mengusap rambutmu yang mudah rontok, aku kembali mengecup kening sambil berdoa buatmu. Di belakang kita, burung gereja bercuit mengamini—pada ranting-ranting pohon yang daun-daunnya berjatuhan. Tetap saja, Sayang, harapan harus kita rumat sekalipun hidup seringkali bukan melulu persoalan tercapainya setiap keinginan.

2 komentar: