Jumat, 09 Agustus 2013

Dari Playboy untuk Playboy






Di mana, Bung?

Saya membaca kalimat itu di layar smartphone lewat layanan pesan singkat. Saya segera menepi, menghentikan kendaraan, lalu segera membalas.

Otw. Nyampe Kaliwates. 

Lalu saya melanjutkan perjalanan. Menuju sekretariat Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa  (UKPKM) Tegalboto Universitas Jember. Tidak ada acara apa-apa di sana, sebenarnya. Saya juga tidak punya hubungan dalam bentuk apapun dengan organ kampus itu. Saya hanya sedang punya janji dengan Aunurrahman Wibisono. Nuran, begitu ia kerap dimaki, meminta untuk bertemu di sekretariat organ kampus yang membesarkan namanya dan turut andil dalam perkembangan pikiran tengilnya itu. 

Daerah sekitar kampus sepi. Maklum, menurut kalender pendidikan, mahasiswa memang sedang libur panjang. Saya sampai di sekretariat lebih dulu. Tidak ada orang sama sekali. Nuran belum datang. Sampai saya dikejutkan oleh sapaan seseorang dari arah kanan saya. 

“Wis suwi, cuk?”

Saya menjawab, “Tas teko aku. Gak onok uwong.”

Nuran lalu mengajak saya masuk ke dalam sekretariat, setelah dia membuka pintu sekretariat dengan cara yang unik. Sebelumnya dia berseru.

“Iku, Bay. Majalahe nang motor.”

Jadi sebenarnya, saya yang ngrepoti Nuran. Ceritanya, saya titip sesuatu ke dia, majalah lebih tepatnya. Dan dia menyanggupi. Setelah beberapa kali gagal bertemu karena kesibukan masing-masing, akhirnya sore itu kami berbincang-bincang. Nuran sendiri sebenarnya juga punya sedikit waktu, karena ia hendak hadir dalam acara buka bersama yang diadakan dengan teman-teman SMA-nya. 

Majalah yang saya titipkan ke Nuran adalah PLAYBOY edisi Indonesia, edisi pertama. Majalah kontroversial, memang. Tahun 2006, majalah ini menyulut polemik. Banyak kalangan yang keberatan majalah lisensi ini terbit di Indonesia. Beberapa mengusung dalih moral dan etika, beberapa punya kepentingan lain. Majalah ini akhirnya hanya bertahan beberapa edisi sebelumnya akhirnya ditutup, editor in chief-nya dipenjara karena dianggap melanggar tindak pidana susila. 

Buat saya, majalah ini bersejarah sekali. Pertama, tentu mengingat riwayat terbitnya yang penuh aral. Diprotes sana, dimaki sini. Kedua, tentu saja menyangkut kontennya. Bukan ihwal pose seksi Andhara Early, yang menjadi model untuk edisi pertama. PLAYBOY sebenarnya punya muatan tulisan yang sangat berkualitas. Kontributornya paten, wawancaranya cerdas, feature panjangnya bernas-enak dibaca-tidak membosankan, artikel-artikel pendeknya juga menarik disimak. Pendek kata, top.  

Khusus untuk edisi pertama, satu hal yang membuat saya sangat tertarik, yakni rubrik Playboy Interview  yang memuat wawancara majalah ini dengan Pramoedya Ananta Toer, junjungan saya. Hehehe. Ini adalah wawancara terakhir Pram dengan media, sebelum beliau wafat. Buat saya ini wawancara penting. Pram juga dikenal cenderung tidak terlalu terbuka dengan media, tapi PLAYBOY punya akses ke sana. Dan seperti saya bilang, wawancara PLAYBOY memang cerdas. Jadilah rubrik wawancara yang segar . Sebuah warna lain, mengingat karakter Pram yang kerap dianggap pemurung dan terkesan “suram”. Tapi menyoal karakter ini, saya kira itu hal yang wajar. Mengingat betapa pilu laku yang  dia tempuh dalam jalan kepenulisan. Ia ditawan, naskahnya dibakar, fisiknya dianiaya (kuping Pram nyaris tuli karena kerap dipopor senapan). 

“Piro iki, Ran?”

“Gak usah , cuk. Iki nang Jakarta gak onok regone.”

Nuran kemudian saya paksa menerima uang sebagai ongkos ganti membeli majalah, tapi ia dengan keras menampik. Akhirnya saya mengalah. Dia memang orang baik. Saya tidak akan menghalangi niat baiknya. 

Saya kemudian mengalihkan topik pembicaraan. Kami lalu berbincang tentang banyak hal. Saya awali dengan membuka obrolan soal kegiatan menulisnya.  Lalu obrolan semakin berkembang. Tentang proyek-proyek menulis yang ia lakukan, tentang tesisnya, tentang seorang kawan penulis lain yang baik hati dan kerap mentraktir, tentang pers mahasiswa sekarang, dan masih banyak lagi.

Pembicaraan kami kemudian semakin menyenangkan ketika seorang setengah baya bertubuh kurus masuk ke sekretariat, menyapa Nuran, berkenalan dengan saya, lalu turut bergabung bersama kami. Namanya Cak Kandar. Saya pernah membaca tulisan Nuran di blog-nya soal sosok menarik ini. Sehari-hari kegiatannya dihabiskan dengan “mengabdi” di kawasan UKM Universitas Jember. Menunggu, bersih-bersih, sesekali bergabung untuk membantu kegiatan mahasiswa di sana.

Dia memperkenalkan diri. “Saya lahir tanggal 2 Mei. Hari Pendidikan Nasional,” katanya sambil terbatah-batah. Saya dan Nuran senyum-senyum. 

Cak Kandar yang polos itu berkisah bahwa ibunya telah meninggal dunia. Saya dan Nuran mendengarkan penuh empati. 

“Sampeyan jaga kesehatan, Cak. Jangan banyak minum,” Nuran mengingatkan. Tentu saja minum yang dimaksud Nuran adalah minum minuman keras, sebuah kebiasaan buruk Cak Kandar. 

Cak Kandar memang hobi menenggak minuman keras. Nuran bercerita bahwa Cak Kandar pernah menenggak arak Bali langsung dari panci, ketika sedang ikut dalam acara kegiatan mahasiswa di Bali. Saya tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu. 

“Kalau memang suka minum, jangan yang aneh-aneh. Bir saja lah, Cak,” Nuran menambahkan. 

Cak  Kandar mengangguk, mendengarkan wejangan Nuran. 

“Kalau alkohol 70% itu gak boleh diminum ya?” tanya Cak Kandar

“Ya gak boleh lah. Nanti organ dalamnya sampeyan hancur. Nih, tanyain dia. Dia dokter lho, Cak,” setengah serius setengah bercanda, Nuran menjawab sambil menujuk saya. 

“Ngomong-ngomong, sampeyan masih ingat saya kan, Cak?” Nuran seakan memverifikasi, mengingat dia sudah lulus cukup lama. 

“Ingat. Au..Au..Aurohaman,” Cak Kandar tergagap-gagap melafalkan nama panjang Nuran. Kami kemudian tertawa bersama-sama.

Tentang Playboy Bernama Nuran

 
Saya dan Nuran, suatu ketika.

Nuran, playboy yang membawakan saya PLAYBOY  itu sebenarnya belum saya kenal begitu lama. Kami berkenalan sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, saya menemui dia di kantin Fakultas Sastra untuk sekadar ngopi dan bercakap-cakap. Saya kenal dia tentu saja lewat internet, mengingat saya tidak punya akses selain dari situ untuk menemui orang-orang dalam lingkaran dunia kepenulisan. Saya banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, jadi mana ada akses soal itu kecuali dari internet. Sosok yang mendekatkan kami adalah Pito, seorang freelance copywriter (Apa kabar, Pit?). 

Tentu saja kedatangan saya untuk ngopi dengan Nuran saat itu adalah mengunduh ilmu darinya. Mengingat saat itu dia baru saja datang dari Eropa karena memenangkan esai penulisan majalah TEMPO. Ia menyusuri Italia,  Belanda, Jerman, Perancis. Ziarah di makam Jim Morisson, naik gondola di Venezia, atau (mungkin) mencicipi Red Light District di Amsterdam. Hahaha, bercanda, Bung!

Tapi dengan prestasi semacam itu, Nuran tetap saja sosok yang rendah hati, sederhana dan senantiasa bersahabat. Saya pernah memintanya menghadiri kelas Akademi Berbagi Jember. Saat itu yang menjadi pembicara adalah Romdhi, seniornya. Itu kali kedua saya bertemu Nuran. Dia tetap bersahaja. Tidak risih naik angkot dan berjalan kaki menuju lokasi kelas. Dia bahkan datang on time, sedang kelas belum siap benar. Romdhi sendiri datang telat karena sebuah urusan yang masih dia selesaikan. Nuran sendiri yang menghubungi dia karena Nuran ingin acara segera berlangsung. Nuran juga pernah saya minta dengan hormat menjadi pembicara di kelas lain Akademi Berbagi Jember. Kali itu, dia mengupas soal jurnalisme musik.

Tentu saja saya banyak belajar dari Nuran. Berbicara dengannya, selalu menyenangkan dan mendapatkan banyak hal. Satu hal yang membuat menyenangkan karena Nuran adalah salah satu orang yang membuat saya nyaman untuk bicara apa saja. Saya juga sangat biasa berucap “cuk” ,”taek”, “asu” dengan Nuran saat bercakap-cakap, entah secara langsung atau obrolan tertulis lewat layanan pesan singkat. Begitupun sebaliknya. Mungkin terkesan tidak sopan untuk sebagian kalangan, tapi kami saling menghormati dan membangun keakraban. Itu bukan makian, tapi panggilan karena merasa karib. Nuran juga melakukan hal serupa  kepada kawan-kawan karibnya yang lain, begitupun saya. 

 Soal menulis, saya banyak belajar dari Nuran tentang menulis dengan sederhana. Gaya menulis Nuran memang menarik. Ringkas, tidak rumit, tapi “bernyawa”. Saya adalah penikmat tulisan-tulisannya. 

Berbekal itu semua, Nuran sebenarnya punya banyak modal untuk menjadi seorang playboy. Tapi soal kehidupan asmaranya, saya tak hendak membuang waktu untuk ikut campur. Nuran buat saya adalah playboy dalam artian lain. Dia adalah seorang yang senantiasa melakukan sesuatu dengan senang hati, tanpa paksaan, sebagaimana orang bermain. Dia juga memiliki pretensi seorang kanak-kanak, yang membiasakan diri untuk selalu ingin tahu, bersemangat, tidak tendensius, dan sedikit nakal. 

“Bay, aku pulang dulu ya. Wis dienteni arek-arek iki. Mesti ngene iki lek ngobrol karo kowe. Keenakan,” kata Nuran menutup obrolan. 

Saya mengiyakan, menjabat tangannya, sambil mengucapkan terima kasih. Ia lalu menaiki motornya , lalu segera berlalu. Menghilang pelan-pelan dari jarak pandang saya. 

Terima kasih, playboy!