Senin, 18 Februari 2013

Dua Wajah Menjawab Tantangan




The only constant is a change
                                   ­Anonim
Rumah sakit adalah lembaga yang kerap terlihat memiliki dua sisi wajah. Sisi pertama adalah wajah sebuah institusi yang mengemban nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Sisi yang lain adalah wajah sebuah unit usaha yang bergerak di bidang jasa dengan pencapaian laba sebagai orientasi utama.

Peliknya masalah  kesehatan masyarakat modern telah menghadapkan dua sisi wajah rumah sakit itu kepada ramainya persaingan di belantara industri dunia kesehatan.

Tuntutan masyarakat yang semakin meninggi, penyakit yang terus berbiak, ketimpangan jumlah penyedia jasa pelayanan kesehatan, biaya pengobatan yang kerap tak terjangkau, adalah beberapa masalah dari tumpukan masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah ini lantas menuntut rumah sakit sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan untuk terus memoles wajahnya. Wajah rumah sakit sebagai institusi sosial, sekaligus wajah rumah sakit sebagai lembaga profit. Secantik mungkin, semenarik mungkin.

Rumah Sakit Sebagai Anak Perusahaan

Maka setiap rumah sakit harus berbenah. Mereka harus menyesuaikan diri dengan permintaan jaman yang sedikit memaksa. Industri boleh berdalih, manusia bisa berdusta, tapi jaman selalu jujur. Jaman akan memutar roda, memaksa siapapun  yang berjalan bersamanya untuk terus bergerak. Hingga pada akhirnya kita hanya akan mempunyai dua pilihan: turut serta atau tergilas.

Menyesuaikan diri dengan kondisi sekitartermasuk segenap kebijakan hukum yang melingkupi, adalah perihal yang mutlak. Jika menampik, persoalannya bisa semakin rumit, bahkan berakhir mengenaskan.

Salah satu bentuk penyesuaian yang harus dilakoni rumah sakit adalah menyesuaikan diri dengan tuntutan Undang-Undang (UU). Contohnya adalah UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU tersebut meminta agar rumah sakit yang bergerak di bawah naungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus mengganti statusnya. Status yang dimaksud adalah dari sebuah unit usaha BUMN menjadi anak perusahaan yang memiliki badan hukum sendiri.

Ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh rumah sakit yang bergerak dalam naungan BUMN, salah satunya rumah sakit milik PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Tak bisa dipungkiri, bisnis apapuntermasuk industri rumah sakit akan terus berkembang. Tantangan akan terus datang. Dan untuk mengatasinya, pelaku bisnis harus pandai-pandai menyesuaikan diri.

Meminjam bahasa korporasi, praktik menjadikan unit usaha rumah sakit milik PTPN X menjadi anak perusahaan ini lazim disebut spin-off. Skemanya cukup jelas. Diawali dengan setoran modal dari PTPN X ke anak perusahaan yang  dilanjutkan dengan perjanjian pinjam pakai di antara kedua belah pihak. Aset tanah, bangunan, peralatan tetap memang masih milik pihak PTPN X. Namun segenap modal itu bisa dipakai oleh anak perusahaan (PT Rumah Sakit) yang baru untuk memutar roda bisnisnya.

Tentu saja semua harus disambut dengan sikap optimis. Optimisme ini tidak berangkat dari angan-angan kosong dan utopis. Bisnis pelayanan kesehatan oleh rumah sakit adalah bisnis yang lahannya tidak akan habis  dituai. Lahan bisnis akan terus ada, seiring dengan kebutuhan masyarakat modern terhadap sistem kesehatan yang semakin kompleks dan lengkap.

Bicara soal kesiapan, unit usaha rumah sakit milik PTPN X dinilai cukup siap untuk lepas landas menjawab tantangan menjadi anak perusahaan. Dari hasil FS oleh konsultan independent HCM Excellence, dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah sakit milik PTPN X memiliki prospek yang baik. Kesimpulan semakin menguat ketika dari perspektif keuangan dapat ditilik bahwa laba setiap rumah sakit milik PTPN X pada tahun 2009-2011 selalu di atas minimal surplus pertahun.

Hasil analisis internal juga  sepakat bahwa kondisi internal dinilai cukup kondusif untuk mengoptimalkan segenap potensi pasar yang dimiliki.

Lepas Landas PT Nusantara Medika Utama

Sabtu, 19 Januari 2013 di Hotel Meritus, Surabaya. Direktur Utama PTPN X, Ir. Subiyono, MMA didampingi  empat orang direksi lainnya, menandatangani akta Nomor 14 Tanggal 19 Januari 2013 tentang Pembentukan Perseroan Rumah Sakit. Momen bersejarah ini juga disaksikan para pejabat puncak dan direktur rumah sakit milik PTPN X.

Secara resmi, hari itu adalah hari kelahiran anak perusahaan PTPN X yang baru. Anak perusahaan PTPN X yang bergerak di bidang perumahsakitan itu diberi nama PT Nusantara Medika Utama  (NMU).  Anak yang baru lahir itu  mulai mengepakkan sayap. Lepas landas. Menerebos cakrawala dunia kesehatan yang tak pernah jelas titik hentinya. Sebagaimana cakrawala yang luas, dunia kesehatan adalah dunia yang tak habis dijelajah.

PT NMU berusaha menjawab tantangan itu dengan kepak sayap yang berani. Filosofi keberanian mengepak sayap dan menghadapi tantangan itu tersirat dari logo PT NMU yang memakai sayap berwarna hijau dengan semburat warna kekuningan.

PT NMU terdiri dari tiga buah Rumah Sakit (RS), yakni RS Perkebunan atau kerap disebut RS Jember Klinik (Jember), RS HVA Toeloengredjo (Kediri) dan RS Gatoel (Mojokerto). Ketiganya adalah rumah sakit terbaik di daerahnya masing-masing.  Dengan pencapaian  tahunan yang terbilang memuaskan, ketiga rumah sakit itu boleh mengepak sayap dengan rasa bangga.  

Namun sebaiknya, sikap terlampau berbangga diri sebaiknya ditunda sejenak. Mengingat tantangan yang dihadapi semakin berat daripada sebelumnya. Sebisa mungkin, PT NMU menghindari jebakan romantisme masa lalu yang memang mirip dengan kembang gulasekadar manis dicecap, tapi tidak mengenyangkan.

Upaya menjawab tantangan ini hendaknya tidak lalai terhadap beberapa sifat khusus pelayanan rumah sakit. Pelayanan rumah sakit, sebagaimana sistem pelayanan kesehatan pada umumnya, memiliki beberapa ciri berbeda dibandingkan bisnis pelayanan jasa pada umumnya. Pertama, kebutuhan konsumen terhadap penyedia layanan kesehatan seringkali sifatnya mendesak. Kedua, toleransi terhadap kesalahan teramat kecil. Ini karena pelayanan rumah sakit bersinggungan dengan hal yang sangat sensitif: nyawa manusia. Ketiga, melibatkan banyak keahlian yang terhubung dengan ketergantungan yang tinggi. Keempat, tolok ukur kualitas pelayanannya seringkali disandarkan pada penilaian subjektif.

PT NMU memang harus lihai bermanuver dan lebih memperhatikan rambu-rambu tersebut, untuk menjaga keberadaan mereka di industri rumah sakit yang semakin riuh oleh persaingan pelaku usahanya.

Tantangan Strategis                                                    

Tantangan yang dihadapi oleh PT NMU ini adalah tantangan yang harus disikapi dengan upaya menata strategi. Dari kacamata bisnis, upaya ini pada akhirnya bermuara pada peningkatan kinerja dan daya saing yang berdampak pada peningkatan profit margin.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh pihak PT NMU untuk mencapai sasaran ini. Langkah-langkah ini bukan pilihan yang mutlak, mungkin. Namun setidaknya, langkah-langkah berikut bisa memberikan ragam solusi alternatif agar kepak sayap PT NMU berhasil melibas saingan-saingannya dalam mengarungi cakrawala dunia kesehatan yang semakin beriklim kompetitif.

Pertama, melalui peningkatan program pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Tujuannya untuk menghasilkan tenaga-tenaga kesehatan sebagai penyedia utama layanan kesehatan yang cakap, terampil, serta terhubung dengan baik dalam rangkaian sistem pelayanan yang terkoordinasi. Majunya teknologi kesehatan hanya akan berdampak bila diterapkan oleh tenaga yang terampil dan ahli yang saling terhubung. Kegagalan praktik pelayanan kesehatan (malpraktik) di rumah sakit kerap dipicu oleh kegagalan koordinasi antar tenaga pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut.  

Thomas Lee, dalam Harvard Bussines Review edisi April 2010 pernah berujar bahwa permasalahan dunia kesehatan bukanlah biaya kesehatan yang terus meninggi. Lee menilai bahwa permasalahan biaya adalah sekadar symptom (gejala) belaka. “Penyakit” sebenarnya adalah ketidakcakapan tenaga pelayanan kesehatan (SDM).

Kedua, segmentasi pasar yang diperluas. Selama ini tiga RS milik PTPN X dikenal sebagai rumah sakit yang memiliki segmentasi pasar di kalangan menengah ke atas (middle up consument). Dengan meningkatnya persaingan di kalangan pelaku usaha bidang perumahsakitan, maka segmentasi pasar yang dibidik diharapkan semakin meluas, merambah ke semua kalangan. Berubahnya arah segmentasi pasar ini diperkuat oleh kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang rencananya akan mulai berlaku di negara ini pada awal tahun 2014 kelak. Diberlakukannya SJSN-BPJS berdampak pada meningkatnya konsumen yang mendapatkan pelayanan rumah sakit dengan gratis, sebab negara menjaminnya. Mekanismenya, negara akan menarik iuran dari masyarakat kemudian mengelolanya sebagai amunisi dari sistem ini. Dengan berlakunya sistem ini, rumah sakit harus berani membuka diri dan ramah  terhadap segala pasar, demi bertahannya rumah sakit itu sendiri di tengah arus industri kesehatan yang kian menderas.

Ketiga, melalui pengembangan fasilitas. Tak bisa dipungkiri, fasilitas memegang peranan penting dalam mendongkrak daya saing rumah sakit. Dengan fasilitas yang lengkap dan tepat guna, rumah sakit diharapkan dapat memenuhi tingkat kebutuhan masyarakat akan kesehatan yang semakin kompleks.

Saya sering teringat analogi satir Jorge Luis Borges, seorang sastrawan besar Argentina, tentang rumah sakit. Borges berujar bahwa rumah sakit tak ubahnya sebuah taksi, dengan argometer yang terus berjalan, tapi pengendaranya tidak kemana-mana selain tetap berada di dalam taksi. Borges membuat analogi ini untuk menyindir sekaligus bercanda bahwa pelayanan rumah sakit itu mahal, padahal pasien hanya berbaring di tempat tidur. Mirip dengan orang naik taksi yang argometernya terus berjalan, tapi taksinya diam.

Maka rumah sakit harus memperbaiki diri dengan mengembangkan fasilitasnya agar serupa dengan taksi yang nyaman. Meminjam analogi Borges, rumah sakit harus menjadi taksi yang sofanya empuk, remnya pakem, suspensinya enak dirasa, memiliki audio system yang memanjakan telinga, safety belt yang aman, AC yang dingin, dan sebingkis kenyamanan lainnya.

Keempat, membuat diferensiasi. Diferensiasi adalah perihal mendasar dalam sebuah bisnis. Diferensiasi akan membedakan unit bisnis dengan pesaing lain, sehingga pasar lebih mempunyai ketertarikan kepada kita karena perbedaan kita menjadi daya pikat tersendiri.

Terdapat tiga buah unsur diferensiasi, yakni konten, konteks, dan infrastruktur. Konten adalah aspek nyata dari diferensiasi yang ditawarkan oleh rumah sakit kepada pelanggan. Konteks adalah cerminan cara rumah sakit dalam memberikan penawaran. Dan infrastruktur adalah dimensi sumber daya untuk membuat diferensiasi.

Contoh diferensiasi adalah proyeksi Rumah Sakit Perkebunan (RS Jember Klinik)salah satu rumah sakit milik PT NMUyang berniat menggagas sebuah Trauma Center atau pusat penanganan kasus kegawatdaruratan traumatik. Konten dalam contoh ini adalah rumah sakit yang memiliki spesialisasi penanganan kasus kegawatdaruratan traumatik. Konteksnya adalah penawaran tenaga kesehatan di bidang kegawatdaruratan yang terampil, keberhasilan yang tinggi dalam life saving, serta response time yang terukur sangat cepat. Dan unsur infrastrukturnya adalah fasilitas Trauma Center yang canggih dan tepat guna.

Pada contoh ini, upaya menggagas Trauma Center mungkin bisa diawali dengan meningkatkan peran, mutu, dan kapasitas pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD). Tidak bisa dipungkiri, UGD adalah garda depan pelayanan rumah sakit. UGD adalah avant garde, yang berpengaruh besar pada penanaman impresi yang kuat di benak konsumen tentang pelayanan rumah sakit secara umum.

Jika pelayanan di UGD tidak berhasil memenuhi harapan konsumen, maka tingkat kepuasan pasien secara umum terhadap kualitas pelayanan rumah sakit juga rendah. Inilah yang menjadi alasan bahwa optimalisasi UGD adalah penting. Selain karena UGD adalah ujung tombak pelayanan, unit ini bisa dijadikan elemen diferensiasi yang membedakan rumah sakit dengan pesaing lain.

Kelima, memperkokoh pengendalian keuangan rumah sakit. Tujuannya adalah  menciptakan sistem keuangan yang menyediakan informasi tentang kinerja keuangan rumah sakit yang dapat diakses oleh setiap tingkatan manajemen, para pemilik atau pemegang saham, dan para pemakai laporan keuangan (stakeholder) lain yang dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi. Informasi ini dapat digunakan pihak manajemen serta pihak terkait untuk merencanakan dan mengevaluasi sasaran rumah sakit sebagai sebuah unit usaha yang mengedepankan pencapaian keuntungan sebagai orientasi utama.

Marketing 3.0

Kelima strategi di atas tadi diharapkan dapat memoles wajah rumah sakit sebagai unit usaha menjadi begitu menggoda. Wajah yang molek dari kacamata bisnis, dapat berdampak pada perolehan keuntungan yang tinggi.

Namun, selayaknya kita selalu mengingat, bahwa wajah rumah sakit kerapkali tampil ganda. Selain sebagai unit usaha yang mencari profit, rumah sakit juga memiliki wajah sebagai lembaga yang karib dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sisi lain wajah rumah sakit tersebut juga sama-sama dihadapkan pada riuhnya persainganseiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan rumah sakit yang bukan hanya sekadar mencari keuntungan di industri kesehatan, tapi juga rumah sakit yang humanis.

Maka lanskap pemasaran rumah sakit juga harus dibenahi. Praktik marketing sudah dan sedang berubah. Marketing sebagai bagian yang lekat dengan bisnis apapuntermasuk bisnis perumahsakitanmemang turut berganti seiring dengan perkembangan bisnis itu sendiri. Suka tidak suka, perubahan di ranah marketing ini sedang terjadi dan tidak bisa ditampik.

Kebutuhan manusia modern tentang nilai-nilai yang humanis semakin meninggi. Sehingga marketing pun juga harus menyesuaikan terhadap kebutuhan tersebut. Marketing gaya baru ini adalah marketing yang lebih menyentuh sisi human spirit. Hermawan Kertajaya, pakar marketing kenamaan (CEO dan Founder MarkPlus, Inc), menamai fenomena ini sebagai New Wave Marketing. Atau dalam istilah lain, inilah “Marketing 3.0”

Menurutnya, “Marketing 1.0” adalah pola pemasaran yang berorientasi untuk mempromosikan produk habis-habisan. “Marketing 2.0” adalah pola pemasaran yang berkiblat untuk memanjakan pelanggan. Dan “Marketing 3.0 “adalah pola pemasaran yang bertujuan untuk menyentuh nilai-nilai human spirit pelanggannya.

Tentu saja konsep “Marketing 3.0” juga bisa diberlakukan pada rumah sakit. Pola marketing ini lebih sesuai dengan wajah rumah sakit. Kredo yang berlaku pada “Marketing 3.0” adalah Everyone is a Friend. Maka semuanya adalah kawan. Rekan bisnis, pasien, teman sejawat, dan segenap elemen lain yang berkecimpung dalam rumah sakit adalah kawan.

Semua elemen tadi bisa terlibat dalam percakapan untuk saling mendengarkan apa yang menjadi harapan, kegembiraan, maupun kegelisahan masing-masing, dalam wadah rumah sakit. Benar-benar konsep yang humanis dan ramah. Tentu, dengan memegang konsep pemasaran semacam ini, pihak penyedia jasa (baca: rumah sakit) diharapkan lebih bisa menentukan strategi yang paling tepat untuk konsumen utama (baca: pasien).

Program nyata yang bisa menjadi contoh untuk pola pemasaran ini sangat beragam. Rumah sakit bisa menggelar gathering rutin dengan pelanggan, memberikan ucapan kepada pasien yang berulang tahun, melakukan home visite secara berkala, memperbanyak kegiatan seminar dan pendidikan kesehatan yang melibatkan konsumen serta masyarakat sekitar, peningkatan layanan pra hospital yang baik, atau program-program lain yang bisa digagas, sepanjang berkiblat pada semangat yang peka terhadap nilai-nilai human spirit.

Berani!

Maka selayaknya tak ada pias di raut wajah rumah sakit dalam menghadapi tantangan menjadi anak perusahaan dari PTPN X. Rumah sakit PT NMU, dengan wajah gandanya, harus berani menjawab tantangan ini. Upaya peningkatan kinerja dan daya saing, harus diimbangi dengan semangat dan optimisme setiap karyawannya.

Perubahan adalah keniscayaan. Tapi keberanian menghadapi perubahan adalah perkara pilihan yang akan mempengaruhi tingkat penyesuaian kita terhadap perubahan. Sedang mereka yang bisa bertahan bukanlah mereka yang kuat, tapi mereka yang berani dan pandai menyesuaikan diri terhadap perubahan.

Era menjadi anak perusahaan adalah era baru yang penuh harapan. Mirip dengan fajar baru yang membuka hari. Terang, tapi tidak menyengat, bahkan menyehatkan. Sehingga tak ada ruang bagi dalih sekecil apapun untuk menundukkan wajah. Wajah rumah sakit PT NMU harus tegak, menatap ke depan, siap menghadapi segala tantangan yang sudah berbaris. Kemudian mengatasinya, satu demi satu.



======================================================================
Esai ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Internal PT Perkebunan Nusantara X (Persero). 
Tema yang dipilih adalah “Rumah Sakit Sebagai Anak Perusahaan: Menyongsong Masa Depan Baru”.

Minggu, 10 Februari 2013

Sekali Lagi, Tentang Menulis


Tadi malam, Sabtu (9/2), saya didapuk menjadi moderator di sebuah acara diskusi yang dihelat oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) PRIMA untuk membuka pekan bursa buku di Gedung Soetardjo, Universitas Jember.

Saya diminta memandu diskusi yang mengupas tentang “citizen journalism” atau yang lazim dikenal sebagai jurnalisme warga. Yang menjadi pembicara adalah RZ Hakim, seorang blogger aktif, sekaligus pelaku kegiatan jurnalisme warga biasa. Saya sendiri hanya paham sedikit tentang citizen journalism. Maka sebelum acara dimulai, saya mencari sedikit bekal dengan membaca beberapa buku soal citizen journalism agar diskusi enak jalannya.

Acara berlangsung lancar. Mas Bro–begitu RZ Hakim biasa dipanggil– menjawab ragam pertanyaan saya yang keminter. Namun ada beberapa pernyataan Mas Bro yang sedikit menohok saya, utamanya soal menulis.

Saya bertanya pada Mas Bro, “Apa sih rambu-rambu menjadi seorang citizen journalist?”

Dalam benak saya, Mas Bro bakal menjawab dengan meminjam istilah-istilah yang sangat teknis macam covering both side, verifikasi, kode etik jurnalisme, atau istilah-istilah lain macam itu. Tapi dugaan saya meleset. Setelah sedikit berbagi kisah, rambu-rambu yang saya tanyakan dijawab Mas Bro dengan sebuah pernyataan yang menyengat saya. 

Suasana saat diskusi. Foto saya ambil dari salah satu blog Mas Bro, di sini

“Menulis dengan jujur dan mandiri, “ katanya.

Sebuah pernyataan yang lebih mirip dengan bahasa slogan yang mengawang-awang, mungkin. Tapi saya tahu, Mas Bro tidak bermaksud demikian. Saya bisa merasakan ucapan Mas Bro itu tulus.

Saya lantas bertanya, “Jujur itu seperti apa, Mas?”

Dia menjawab setengah cengengesan setengah serius, “Jujur itu tidak bohong. Menulis apa adanya. Tulis saja.”

Dan kemandirian yang dimaksud Mas Bro adalah seorang citizen journalist harus merdeka dari sikap “merengek” bantuan orang lain. Citizen journalist harus mencari-cari kaidah penulisan yang benar walau ia tidak pernah mengenyam diklat penulisan, harus bisa menata letak (layout)  tampilan tulisannya sendiri, harus bisa mengedit tulisannya sendiri, dan yang terpenting mandiri dari tumpukan tendensi materi yang kerap menjadi motivasi sekaligus racun yang ampuh bagi penulis pemula.
                    
***

Saya bukan seorang citizen journalist. Saya hanya menaruh gairah yang mendalam di kegiatan literasi. Dan perkataan Mas Bro soal rambu-rambu utama citizen journalist, rasanya juga berlaku bagi siapapun yang memiliki gairah yang sama.

Saya teringat teman sekaligus guru menulis saya, Pitoresmi namanya. Dulu saat saya meminta tanggapan soal tulisan saya kepadanya, dia mengomentari dengan agak pedas.

“Tulisanmu gak jujur. Kurang apa adanya, “ katanya.

Saat itu saya tak paham maksudnya.  Saya merasa apa yang saya tulis sudah benar secara kajian data. Pito tahu bahwa saya jenis orang yang kerap menulis setelah melakukan riset. Namun akhirnya saya mengerti, bahwa kejujuran yang dimaksud oleh Pito bukan sekadar soal kebenaran materi tulisan saya. Maksud Pito soal menulis dengan jujur adalah menulis mengalir. Tanpa rajin kutip sana-sini agar terlihat pintar dan menguasai wacana. Tanpa mendaras teori yang mendakik-dakik agar terlihat wawasannya tidak sempit.

Belakangan saya mengerti, bahwa menulis kadang mirip dengan memoles wajah wanita cantik. Memberi teori yang berbuih-buih, kutipan yang ramai, mirip dengan mengoles bibir wanita cantik gincu yang kelewat mencolok dan memberinya bedak yang kelewat tebal. Wajah  cantik akan terlihat menor dan tidak menarik.

Tentang kemandirian dalam menulis, Pito juga memberi masukan yang berarti buat saya. Ketika saya menanyakan pengertian suatu hal, dengan galak Pito akan mengingatkan, “J.F.G.I !!!!”

Maksudnya, Just Fucking Google It. Ya, dengan tanda seru sebanyak itu. Karena geregetan dengan sikap saya yang tidak mandiri.

Acara diskusi dengan Mas Bro semalam seakan memberi pengingat pada saya agar kemandirian dan kejujuran senantiasa menjadi dua hal yang menjaga tulisan saya.

Dulu saya tergolong orang yang percaya bahwa ada orang-orang yang menulis karena ketidakpedulian. Maksud saya, orang-orang yang menulis tapi tidak peduli dan tidak berharap tulisannya akan dibaca. 

Tapi belakangan yang saya percayai adalah orang-orang itu hanyalah mitos. Semua orang menulis dengan kepedulian. Semua orang menulis karena ingin dibaca, minimal oleh dirinya sendiri. Semua orang ingin pesan dalam tulisannya sampai kepada pembacanya.

Kalau ada yang bilang bahwa ada orang yang menulis dengan tidak berharap tulisannya dibaca (termasuk oleh dirinya sendiri), maka saya –meminjam istilah Mas Zen Rahmat Sugito–adalah orang yang sangat mengagumi sekaligus tidak mempercayainya.

Insting manusia sebagai makhluk penyampai pesan ini jika terlalu liar dan tidak dikendalikan, akan membuat seseorang menulis dengan menor.  Ia tidak jujur pada akhirnya. Ia juga tidak mandiri pada akhirnya. Itulah yang harus saya hindari.

Semoga saya bisa konsisten menjaga sikap itu. Tak lupa, dengan sedikit bersenang-senang tentunya.


Minggu, 03 Februari 2013

Pada Mulanya adalah Sebuah Warung Kopi


  
Saya masih mengingat senja itu. Senja yang meredup bersama sebuah pesan pendek yang singgah di smartphone saya—tergeletak di sebelah secangkir kopi yang mulai dingin. Beberapa orang tergelak, beberapa mengobrol, saya mengambil jarak. Duduk di bangku kayu di sudut warung, saya lalu membaca pesan singkat itu.

“Gimana kelas Akbernya? Sukses?” Dia menanyakan kelas Akber (Akademi Berbagi) Jember yang selesai dihelat.

Saya membalasnya, “Alhamdulillah, sukses. Ramai.”

Kemudian saya mencoba membaur kembali dengan orang-orang di depan saya. Melebur jarak bersama mereka, sahabat-sahabat baru saya—yang menyertai dan memberikan banyak kesan berarti pada perjalanan baru saya. Mengajak saya untuk berkomunal, bergerak bersama-sama, melakukan sesuatu. Bersama mereka, “obrolan warung kopi” tak selamanya sekadar menghasilkan bual dan buih-buih ludah di sudut bibir.

Di tempat itu, roda Akber Jember pertama kali bergulir. Berkat kerja dan dukungan kawan-kawan saya itu, lambat laun, roda terus bergerak. Menolak diam, walau sesekali tersendat.

Saya adalah pengiman yang buruk, tapi saya percaya bahwa kebaikan adalah magnet yang kutubnya tersebar di segala sudut. Ia akan menarik kebaikan-kebaikan lain. Di tempat itu, saya tak hanya belajar bersama Akber Jember. Tapi juga gerakan yang lain bersama kawan-kawan. Mereka, kawan-kawan saya itu, adalah orang-orang yang secara tidak langsung mengimani omongan Christopher McCandless ketika nyaris meregang nyawa, “Happiness is only real when shared”.

Kami belajar, berkumpul, bergerak, bekerjasama, merayakan hidup dengan bersenang-senang, berbagi, dan sisanya ngopi. Masih tercatat dalam ingatan, sebuah wejangan dari Mas Arif Budiman—yang juga saya dapatkan di tempat itu: bekerjasama dalam kebaikan adalah magnet keberuntungan. Wejangan yang ampuh. Bersama mereka, kawan-kawan saya itu, saya sudah membuktikan. Warung kopi itu adalah wadahnya. Wadah yang sarat arus kebaikan. Dan kebaikan kerapkali mengundang keberuntungan.

Setiap persinggahan adalah setiap upaya menanam kenangan, barangkali. Tidak selalu, mungkin. Tapi membicarakan kenangan adalah membicarakan ingatan yang begitu personal dan intim. Di tempat itu, saya menanam kenangan. Sekarang, ketika tempat itu sudah tidak ada, yang tersisa adalah kenangan yang dituai pelan-pelan. Diam-diam. 

***
Tempatnya tidak begitu luas, kecil malah. Kursi dan mejanya sengaja dibiarkan dari kayu. Cat di dindingnya didominasi dua warna: hijau dan putih. Lokasinya agak susah dijangkau, di sudut area kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Jember. Tapi pengunjungnya tak pernah jera. Mereka setia mengunjungi tempat sederhana itu.  Saya adalah salah satunya. 

Nama warung kopinya menyiratkan sosok yang ramah, Cak Wang. Tagline-nya menggelitik: mempererat tali silaturahmi.  

Seorang kawan pernah bicara pada saya, “Membuka tempat semacam ini adalah mimpi besar saya. Kelak, setelah capek bekerja di kantor, saya akan membuka warung kopi seperti ini.”

Saya tersenyum. Lalu menanggapi, “Lalu dari kacamata bisnis, apa kelemahan warung ini?”

Teman saya membetulkan letak kacamatanya sembari berujar, “Tempat warung ini susah dijangkau, jauh dari arus utama. Tapi pengunjungnya setia. Mirip umat yang taat. Kekuatannya karena kenyamanan lokasi. Tapi segmentasinya terbatas. Hanya orang-orang itu saja. Saya berani bertaruh, ketika owner mencoba membuka di tempat lain, pasti tidak akan berhasil mengelola sebagaimana dia mengelola tempat ini.”

Ternyata tebakan kawan saya salah. Sangat meleset. Man purposes, God disposes. Atau dengan ungkapan yang lebih satir: manusia berencana, Tuhan tertawa. Ternyata justru warung kopi Cak Wang (pertama) yang gugur. Owner memutuskan membuka cabang di tempat lain—yang ternyata lebih ramai. Warung kopi Cak Wang (pertama) itu akhirnya ditutup dengan keputusan berat yang saya yakini dilahirkan dari proses tera berulang kali.

Tapi kenangan tak muat oleh ukuran pertimbangan bisnis. Kenangan akan tetap tegak, mengakar kuat dalam ingatan. Menampik perhitungan laba rugi.

Saya tetap menghormati warung kopi bercat putih-hijau itu sebagai hulu dari segala langkah yang dibuat oleh saya dan kawan-kawan.

Saya lantas teringat omongan Daoed Joesoef, cendekiawan yang lulus cumlaude dari Universitas Sorbonne itu, ketika  mengenang wasiat ibunya, “Jadilah seperti aliran air. Kemanapun dia bermuara, dia masih ingat dari mana ia bersumber.” Kira-kira begitu.

Pada mulanya adalah sebuah warung kopi. Sekadar tempat bercengkerama dan mengaduk-aduk wacana. Tapi kebaikan selalu menemukan jalannya sendiri—mengalir dari cangkir demi cangkir. Menjadi buah pikir, menjadi laku nyata.

Warung kopi bercat putih-hijau itu sudah tidak ada. Yang tersisa bukan hangat aroma kopi yang wanginya menyeruak—atau ampasnya yang pekat dan pahit, tapi kenangan dan  kebaikan yang terlahir, terus mengalir. Tumbuh dan berbiak, menarik kebaikan dan kenangan baru, di tempat lain.