Rabu, 13 November 2013

Caping dan Paradoks-paradoks yang Tak Selesai



Tulisan kedua saya umtuk proyek #5BukuDalamHidupku

===================================================================




Membaca Caping adalah membaca Goenawan Mohamad yang konsisten dengan produktivitasnya.
Membaca Caping adalah membaca vitalitas yang tak kunjung padam.
Membaca Caping adalah membaca ide dan kejenakaan yang tak lekang oleh panas.
Membaca Caping adalah membaca sejarah sekaligus aktualitas berlatar sejarah.
Membaca Caping adalah membaca lompatan.
Membaca Caping adalah membaca diksi yang penuh dan kata yang padat.
Membaca Caping adalah membaca kesederhanaan dan efektivitas, sekaligus kerumitan bahasa.
Membaca Caping adalah membaca makna.
Membaca Caping adalah membaca semangat dan gairah.
Membaca Caping adalah membaca ketidaktahuan dan kenaifan kita.


--diambil dari blog Caping

Ada  yang bilang, hampir  semua anak muda di Indonesia yang belajar menulis esai secara serius, pasti mengawali dengan membaca Catatan Pinggir (Caping) milik Goenawan Mohamad (GM) sebagai acuan. Dan bisa dipastikan pula, sebagian besar dari mereka kepincut dengan Caping. Saya berani bertaruh.

Saya juga masuk golongan yang sama. Caping, bagaimanapun sempat memberikan pengaruh dalam cara saya menulis, sedikit atau banyak. Minimal, dalam hal penyusunan lead, Caping kerap memberikan teladan yang baik. Dan saya mencoba mengikutinya. GM lewat  Caping juga memberikan contoh yang baik tentang bagaimana menggagas kalimat-kalimat pendek, tapi efektif. Caping pula yang membuat saya tahu, bahwa judul esai tak harus berbelit-belit. Cukup satu kata (ini menjadi ciri khas tulisan Caping).

Ide penulisan Caping pada mulanya berangkat dari kebiasaan GM mengomentari apa yang dia baca, lalu dia menuliskan komentarnya di pinggir halaman buku tersebut. GM memilih model tulisan esai karena ingin mengajak orang berpikir. Tulisan esai diperkenalkan oleh Michel de Montagne pada abad 15. Montagne berpendapat sebenarnya yang kita ketahui tidak banyak bahkan tidak ada. Sehingga ia mempergunakan esai sebagai percobaan untuk mengajak orang berpikir untuk mendapatkan kejernihan dari kekalutan masalah.

Perkenalan saya dengan Caping dimulai ketika saya menjelang tamat SMA. Seorang kawan meminjam di perpustakaan sekolah, dan saya lantas meminjam darinya. Kesan pertama setelah membaca Caping untuk pertama kali adalah saya terpukau sekaligus tidak mengerti.

Pada mulanya bukan menyoal bagaimana Caping mempengaruhi teknik menulis. Caping ibarat lorong panjang dengan berbagai hal menarik di dinding-dindingnya.  Caping bercerita begitu lengkap, namun tidak pernah riuh apalagi pekak.  Diksi-diksinya unik dan kerap “memaksa” saya harus mencari tahu apa maksudnya. GM lewat Caping juga kerap “mengenalkan” nama-nama pemikir yang kerap ia kutip dan tidak pernah saya dengar sebelumnya. GM juga sangat sering menyebut buku-buku bacaan yang entah, film yang tidak pernah saya tonton, atau lagu  yang tak pernah hinggap di telinga saya. Pendek kata, membaca Caping saat itu terasa menggairahkan.

Tapi justru di situ paradoks muncul.

Tema-tema dalam  Caping diusung GM dengan konsisten. Sangat konsisten. Apa yang GM tulis tidak akan jauh-jauh dari perkara Tuhan, agama dan sikap keberagamaan, spiritualitas, sekulerisme. Sesekali ia akan mengulik soal perkara politik, ekonomi, atau humaniora. Tidak pernah beranjak dari itu semua. Jangan lupa, formula yang digunakan adalah dengan memoles lewat kutipan-kutipan dari para pemikir, mempercantik diksi lalu menarik diri dari persoalan dengan memosisikan diri sebagai “orang ketiga” dari persoalan yang diangkat. Konsistensi lalu menjadi bias dengan hal yang membosankan.

Tapi apapun itu, Caping mengajarkan saya banyak hal. Satu hal penting lainnya yang saya warisi adalah bagaimana berpikir dengan begitu plastis. Semua tulisan GM di Caping begitu lentur. Ketika dia membenturkan diri dengan bahasan yang ia kritisi sekalipun, lewat permainan kata yang ajaib, dia seakan memantul kembali untuk menjaga diri agar tidak hinggap di satu sudut saja.

Bicara Caping juga  bicara tentang komitmen dan produktivitas. Jilid 1 sampai jilid 9 (jumlah sekuelnya mengalahkan sinetron Tersanjung) adalah bukti GM begitu menjaga komitmen sekaligus menjaga level produktivitasnya.

Pernah suatu saat dia ditanya, “Mas Goen, apa rahasia Anda begitu produktif menulis Caping?”

GM menjawab kurang lebih begini, “Ya karena disuruh Tempo. Selama saya bisa pasti saya lakukan," katanya. Buat saya itu bentuk kejenakaan sekaligus bentuk kerendahhatian  seorang GM.

Seperti kita tahu Caping yang berjilid-jilid itu disusun dari tulisan GM di halaman belakang majalah TEMPO setiap minggu. Ada cerita menarik soal ini. Konon, saat GM masih menjadi pimred TEMPO, awak redaksi  baru bisa “tenang” kalau GM sudah menulis Caping. Kalau Caping belum selesai, dia tidak akan pulang dari kantor.

Toriq, seorang redaksi senior TEMPO juga pernah berujar, “Dia itu selalu gelisah. Bahkan setelah nulis sekalipun dia tetap gelisah. Pernah Caping yang sudah diserahkan direvisi hingga 9 kali. Ke mana pun dia pergi, dia pasti akan tetap menulis,"

Ketika sudah tidak di TEMPO lagi pun, GM tetap menjaga komitmennya menulis Caping. Pernah suatu saat dia di Amerika Serikat dan dia sedang menghadapi deadline menulis Caping. Untuk pergi ke pusat kota, ia harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam agar dia bisa mengirim email ke TEMPO. Tapi kala itu udara sangat dingin. GM malas keluar. Akhirnya dia menulis Caping lewat SMS.

Bagaimanapun, Caping menurut saya adalah sebuah catatan penting di khazanah perbukuan Indonesia. Terlepas dari segala macam paradoksnya, Caping termasuk buku yang memberikan banyak pengaruh kepada saya secara pribadi.

Justru karena paradoksnya yang tak kunjung selesai itu, saya menulis catatan sederhana ini untuknya.

2 komentar:

  1. Catatan ini juga padat, penuh, dan nampak bergairah. Barangkali sudah waktunya Sahad Bayu menggantikan Pak Goen :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh kan, mulai deh Mas Bro menebar jurus mautnya: menggombal. :D

      Hapus