Untuk
seorang otodidak yang gemar menulis, dokumentasi hasil tulisan itu penting.
Mutlak, bahkan. Tujuannya untuk mengevaluasi hasil tulisan kita. Sisanya untuk
memutar ulang ingatan tentang segala hal yang berkaitan dengan proses kreatif
menulis itu sendiri. Sisanya lagi, bukan munafik, pada tingkatan paling rendah, dokumentasi juga bisa untuk gaya-gayaan.
Tapi
saya sangat lemah mendokumentasikan tulisan saya. Banyak tulisan yang tidak
terarsip dengan baik. Tercecer dan pada akhirnya hilang.
Saya
adalah lucky bastard, barangkali.
Dengan skill menulis yang amburadul,
tulisan saya pernah naik cetak beberapa kali di beberapa media massa (surat
kabar) lokal. Mungkin, redaktur yang mempertimbangkan bahwa tulisan saya layak
cetak, usai menenggak Chivas Regal bajakan terlalu banyak. Itu pun dioplos
dengan obat penurun panas.
Tulisan
saya yang dimuat surat kabar adalah berjenis resensi. Buku yang saya resensi
berjudul Adam Hawa, karangan Muhidin
M Dahlan. Muhidin, yang karib disapa Gus Muh, adalah penulis favorit saya. Saya
jatuh cinta semakin dalam ke dunia literasi setelah membaca bukunya yang lain, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta di
masa-masa awal kuliah. Gus Muh sekarang masih terus bergiat mengelola rumah
buku I:BOEKOE (Indonesia Buku) di sekitar Patehan, Jogjakarta.
Cover buku "Adam Hawa". Gambar diambil dari sini |
Adam
Hawa adalah buku yang kontroversial. Buku ini sempat disomasi oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) karena isinya dianggap menyesatkan dan menghina agama tertentu. Gus Muh mengisahkan
Adam dan Hawa versi lain dengan satir sekaligus jenaka. Proses kreatif
penulisan buku ini dijalani oleh Gus Muh dengan nongkrong selama
satu minggu di depan Benteng
Vredeburg dan Alun-Alun Keraton Jogja dari malam sampai pagi.
Dimuatnya
resensi saya untuk buku Adam Hawa
mengagetkan saya. Maklum saja, saya sadar diri bahwa kemampuan menulis saya
sampai sekarang masih acakadut. Saya
masih belum piawai menulis dengan bernas, padat, kaya diksi, strukturnya kokoh,
tapi tetap dengan cara bertutur yang baik. Apalagi kemampuan saya waktu itu.
Belum lagi, dimuat di koran itu bukan perkara gampang. Gus Muh pertama kali
resensi bukunya dimuat setelah mencoba sekitar 52 kali. Makanya, seperti saya
bilang, saya adalah lucky bastard.
Yang
lucu, tulisan pertama saya yang dimuat surat kabar pada saat itu tidak
menggunakan identitas saya, melainkan nama pacar saya waktu itu. Saya pinjam
kartu identitasnya. Alasannya, saya tidak punya kartu identitas yang masih
berlaku saat itu. Jadilah saya pinjam punya pacar saya, Tya namanya.
Tidak bisa dipungkiri, tulisan saya yang naik cetak pertama kali membuat pacar saya waktu itu kian jatuh hati. Hahahaha. Well, I am lucky bastard, indeed.
Beberapa
waktu setelah tulisan saya dimuat, saya berboncengan motor dengan Tya menuju
kantor redaksi surat kabar tadi. Karena memang bukan koran beroplah besar,
honor diminta dengan mendatangi kantor redaksi yang bersangkutan. Pulangnya,
dengan honor yang minimal tadi, kami membeli roti bakar di pertigaan Jalan
Jakarta. Aih.
Yang
konyol adalah, arsip tulisan itu tak saya pegang sampai sekarang. Tapi dibawa
Tya. Dan saya alpa meng-copy-nya. Tya
sendiri sudah menikah dengan orang lain dan sudah punya momongan.
***
Tulisan kedua saya yang dimuat di media massa adalah berjenis cerpen, judulnya “Fetus”. Nama tokohnya Pitara–saya ambil dari nama seorang dokter muda wanita yang saya kenal saat itu. Fetus artinya janin. Cerpen itu mengisahkan tentang anak hasil hubungan di luar nikah.
Kali
ini saya memakai nama saya sendiri. Tapi tak seberuntung resensi Adam Hawa,
tulisan ini alot menyoal honor yang saya terima.
Lagi-lagi,
saya tidak memiliki arsip tulisan ini.
Tulisan
ketiga saya yang dimuat adalah sebuah artikel pendek soal profesi paramedis,
disusul sebuah tulisan tentang komik. Dan kebodohan saya terulang sekian kali,
saya tidak punya arsip untuk keduanya.
Maka
saya harus berubah. Sebagai pembelajar otodidak, saya harus lebih rajin
mengarsip tulisan sendiri. Agar saya bisa mempelajari kesalahan-kesalahan saya,
setelah puas menertawakannya. Maka tak heran, beberapa tulisan lama yang
tercecer di halaman-halaman maya, saya unggah lagi di sini. Sekadar agar tidak
hilang. Apalagi beberapa situs penyedia layanan weblog
juga banyak yang gulung tikar, sedang saya punya akun dan tulisan di sana.
Sebab
saya ingin menulis dengan baik. Itu harapan saya. Selain terus menulis, langkah
lainnya adalah rajin mengarsip tulisan sendiri. Agar kebodohan tak terus
berulang lagi. Agar yang pada mulanya menjadi harapan, tidak sirna menjadi
sekadar ingatan.
sakno lho, Gab, ganok sing komen...
BalasHapus