Tadi malam, Sabtu (9/2), saya didapuk menjadi
moderator di sebuah acara diskusi yang dihelat oleh Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) PRIMA untuk membuka pekan bursa buku di Gedung Soetardjo, Universitas
Jember.
Saya diminta memandu diskusi yang mengupas tentang
“citizen journalism” atau yang lazim dikenal sebagai jurnalisme warga. Yang
menjadi pembicara adalah RZ Hakim, seorang blogger
aktif, sekaligus pelaku kegiatan jurnalisme warga biasa. Saya sendiri hanya
paham sedikit tentang citizen journalism.
Maka sebelum acara dimulai, saya mencari sedikit bekal dengan membaca beberapa
buku soal citizen journalism agar
diskusi enak jalannya.
Acara berlangsung lancar. Mas Bro–begitu RZ Hakim
biasa dipanggil– menjawab ragam pertanyaan saya yang keminter. Namun ada beberapa pernyataan Mas Bro yang sedikit
menohok saya, utamanya soal menulis.
Saya bertanya pada Mas Bro, “Apa sih rambu-rambu menjadi
seorang citizen journalist?”
Dalam benak saya, Mas Bro bakal menjawab dengan
meminjam istilah-istilah yang sangat teknis macam covering both side, verifikasi, kode etik jurnalisme, atau
istilah-istilah lain macam itu. Tapi dugaan saya meleset. Setelah sedikit
berbagi kisah, rambu-rambu yang saya tanyakan dijawab Mas Bro dengan sebuah pernyataan
yang menyengat saya.
Suasana saat diskusi. Foto saya ambil dari salah satu blog Mas Bro, di sini |
“Menulis dengan jujur dan mandiri, “ katanya.
Sebuah pernyataan yang lebih mirip dengan bahasa
slogan yang mengawang-awang, mungkin. Tapi saya tahu, Mas Bro tidak bermaksud
demikian. Saya bisa merasakan ucapan Mas Bro itu tulus.
Saya lantas bertanya, “Jujur itu seperti apa, Mas?”
Dia menjawab setengah cengengesan setengah serius,
“Jujur itu tidak bohong. Menulis apa adanya. Tulis saja.”
Dan kemandirian yang dimaksud Mas Bro adalah
seorang citizen journalist harus
merdeka dari sikap “merengek” bantuan orang lain. Citizen journalist harus mencari-cari kaidah penulisan yang benar
walau ia tidak pernah mengenyam diklat penulisan, harus bisa menata letak (layout)
tampilan tulisannya sendiri, harus bisa mengedit tulisannya sendiri, dan
yang terpenting mandiri dari tumpukan tendensi materi yang kerap menjadi
motivasi sekaligus racun yang ampuh bagi penulis pemula.
***
Saya bukan seorang citizen journalist. Saya hanya menaruh gairah yang mendalam di
kegiatan literasi. Dan perkataan Mas Bro soal rambu-rambu utama citizen journalist, rasanya juga berlaku
bagi siapapun yang memiliki gairah yang sama.
Saya teringat teman sekaligus guru menulis saya,
Pitoresmi namanya. Dulu saat saya meminta tanggapan soal tulisan saya
kepadanya, dia mengomentari dengan agak pedas.
“Tulisanmu gak jujur. Kurang apa adanya, “ katanya.
Saat itu saya tak paham maksudnya. Saya merasa apa yang saya tulis sudah benar
secara kajian data. Pito tahu bahwa saya jenis orang yang kerap menulis
setelah melakukan riset. Namun akhirnya saya mengerti, bahwa kejujuran yang
dimaksud oleh Pito bukan sekadar soal kebenaran materi tulisan saya. Maksud
Pito soal menulis dengan jujur adalah menulis mengalir. Tanpa rajin kutip
sana-sini agar terlihat pintar dan menguasai wacana. Tanpa mendaras teori yang
mendakik-dakik agar terlihat wawasannya tidak sempit.
Belakangan saya mengerti, bahwa menulis kadang
mirip dengan memoles wajah wanita cantik. Memberi teori yang berbuih-buih,
kutipan yang ramai, mirip dengan mengoles bibir wanita cantik gincu yang kelewat mencolok dan memberinya
bedak yang kelewat tebal. Wajah cantik
akan terlihat menor dan tidak menarik.
Tentang kemandirian dalam menulis, Pito juga
memberi masukan yang berarti buat saya. Ketika saya menanyakan pengertian suatu
hal, dengan galak Pito akan mengingatkan, “J.F.G.I !!!!”
Maksudnya, Just
Fucking Google It. Ya, dengan tanda seru sebanyak itu. Karena geregetan
dengan sikap saya yang tidak mandiri.
Acara diskusi dengan Mas Bro semalam seakan memberi
pengingat pada saya agar kemandirian dan kejujuran senantiasa menjadi dua hal
yang menjaga tulisan saya.
Dulu saya tergolong orang yang percaya bahwa ada
orang-orang yang menulis karena ketidakpedulian. Maksud saya, orang-orang yang
menulis tapi tidak peduli dan tidak berharap tulisannya akan dibaca.
Tapi belakangan yang saya percayai adalah orang-orang itu hanyalah mitos. Semua orang menulis dengan kepedulian. Semua orang menulis karena ingin dibaca, minimal oleh dirinya sendiri. Semua orang ingin pesan dalam tulisannya sampai kepada pembacanya.
Tapi belakangan yang saya percayai adalah orang-orang itu hanyalah mitos. Semua orang menulis dengan kepedulian. Semua orang menulis karena ingin dibaca, minimal oleh dirinya sendiri. Semua orang ingin pesan dalam tulisannya sampai kepada pembacanya.
Kalau ada yang bilang bahwa ada orang yang menulis
dengan tidak berharap tulisannya dibaca (termasuk oleh dirinya sendiri), maka
saya –meminjam istilah Mas Zen Rahmat Sugito–adalah orang yang sangat mengagumi
sekaligus tidak mempercayainya.
Insting manusia sebagai makhluk penyampai pesan ini
jika terlalu liar dan tidak dikendalikan, akan membuat seseorang menulis dengan menor.
Ia tidak jujur pada akhirnya. Ia juga tidak mandiri pada akhirnya.
Itulah yang harus saya hindari.
Semoga saya bisa konsisten menjaga sikap itu. Tak
lupa, dengan sedikit bersenang-senang tentunya.
terus? sudah berapa benak kamu buahi sampe pada bikin blog? =P
BalasHapusBaru satu, Pito. Itu juga gak rutin dirawat. :)) Beda mah sama kamu yang nabi. :D
HapusKetika cangkruk'an bersama kawan-kawan Persma dan saya tetap bicara tentang verifikasi, itu sama saja menggarami lautan, hehe. Mereka pandai dan kritis. Sebenarnya, saya yang lebih banyak belajar dari mereka, itu faktanya :)
BalasHapusTerima kasih ya Mas Sahad Bayu, tulisanmu selalu keren.