Minggu, 10 Februari 2013

Sekali Lagi, Tentang Menulis


Tadi malam, Sabtu (9/2), saya didapuk menjadi moderator di sebuah acara diskusi yang dihelat oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) PRIMA untuk membuka pekan bursa buku di Gedung Soetardjo, Universitas Jember.

Saya diminta memandu diskusi yang mengupas tentang “citizen journalism” atau yang lazim dikenal sebagai jurnalisme warga. Yang menjadi pembicara adalah RZ Hakim, seorang blogger aktif, sekaligus pelaku kegiatan jurnalisme warga biasa. Saya sendiri hanya paham sedikit tentang citizen journalism. Maka sebelum acara dimulai, saya mencari sedikit bekal dengan membaca beberapa buku soal citizen journalism agar diskusi enak jalannya.

Acara berlangsung lancar. Mas Bro–begitu RZ Hakim biasa dipanggil– menjawab ragam pertanyaan saya yang keminter. Namun ada beberapa pernyataan Mas Bro yang sedikit menohok saya, utamanya soal menulis.

Saya bertanya pada Mas Bro, “Apa sih rambu-rambu menjadi seorang citizen journalist?”

Dalam benak saya, Mas Bro bakal menjawab dengan meminjam istilah-istilah yang sangat teknis macam covering both side, verifikasi, kode etik jurnalisme, atau istilah-istilah lain macam itu. Tapi dugaan saya meleset. Setelah sedikit berbagi kisah, rambu-rambu yang saya tanyakan dijawab Mas Bro dengan sebuah pernyataan yang menyengat saya. 

Suasana saat diskusi. Foto saya ambil dari salah satu blog Mas Bro, di sini

“Menulis dengan jujur dan mandiri, “ katanya.

Sebuah pernyataan yang lebih mirip dengan bahasa slogan yang mengawang-awang, mungkin. Tapi saya tahu, Mas Bro tidak bermaksud demikian. Saya bisa merasakan ucapan Mas Bro itu tulus.

Saya lantas bertanya, “Jujur itu seperti apa, Mas?”

Dia menjawab setengah cengengesan setengah serius, “Jujur itu tidak bohong. Menulis apa adanya. Tulis saja.”

Dan kemandirian yang dimaksud Mas Bro adalah seorang citizen journalist harus merdeka dari sikap “merengek” bantuan orang lain. Citizen journalist harus mencari-cari kaidah penulisan yang benar walau ia tidak pernah mengenyam diklat penulisan, harus bisa menata letak (layout)  tampilan tulisannya sendiri, harus bisa mengedit tulisannya sendiri, dan yang terpenting mandiri dari tumpukan tendensi materi yang kerap menjadi motivasi sekaligus racun yang ampuh bagi penulis pemula.
                    
***

Saya bukan seorang citizen journalist. Saya hanya menaruh gairah yang mendalam di kegiatan literasi. Dan perkataan Mas Bro soal rambu-rambu utama citizen journalist, rasanya juga berlaku bagi siapapun yang memiliki gairah yang sama.

Saya teringat teman sekaligus guru menulis saya, Pitoresmi namanya. Dulu saat saya meminta tanggapan soal tulisan saya kepadanya, dia mengomentari dengan agak pedas.

“Tulisanmu gak jujur. Kurang apa adanya, “ katanya.

Saat itu saya tak paham maksudnya.  Saya merasa apa yang saya tulis sudah benar secara kajian data. Pito tahu bahwa saya jenis orang yang kerap menulis setelah melakukan riset. Namun akhirnya saya mengerti, bahwa kejujuran yang dimaksud oleh Pito bukan sekadar soal kebenaran materi tulisan saya. Maksud Pito soal menulis dengan jujur adalah menulis mengalir. Tanpa rajin kutip sana-sini agar terlihat pintar dan menguasai wacana. Tanpa mendaras teori yang mendakik-dakik agar terlihat wawasannya tidak sempit.

Belakangan saya mengerti, bahwa menulis kadang mirip dengan memoles wajah wanita cantik. Memberi teori yang berbuih-buih, kutipan yang ramai, mirip dengan mengoles bibir wanita cantik gincu yang kelewat mencolok dan memberinya bedak yang kelewat tebal. Wajah  cantik akan terlihat menor dan tidak menarik.

Tentang kemandirian dalam menulis, Pito juga memberi masukan yang berarti buat saya. Ketika saya menanyakan pengertian suatu hal, dengan galak Pito akan mengingatkan, “J.F.G.I !!!!”

Maksudnya, Just Fucking Google It. Ya, dengan tanda seru sebanyak itu. Karena geregetan dengan sikap saya yang tidak mandiri.

Acara diskusi dengan Mas Bro semalam seakan memberi pengingat pada saya agar kemandirian dan kejujuran senantiasa menjadi dua hal yang menjaga tulisan saya.

Dulu saya tergolong orang yang percaya bahwa ada orang-orang yang menulis karena ketidakpedulian. Maksud saya, orang-orang yang menulis tapi tidak peduli dan tidak berharap tulisannya akan dibaca. 

Tapi belakangan yang saya percayai adalah orang-orang itu hanyalah mitos. Semua orang menulis dengan kepedulian. Semua orang menulis karena ingin dibaca, minimal oleh dirinya sendiri. Semua orang ingin pesan dalam tulisannya sampai kepada pembacanya.

Kalau ada yang bilang bahwa ada orang yang menulis dengan tidak berharap tulisannya dibaca (termasuk oleh dirinya sendiri), maka saya –meminjam istilah Mas Zen Rahmat Sugito–adalah orang yang sangat mengagumi sekaligus tidak mempercayainya.

Insting manusia sebagai makhluk penyampai pesan ini jika terlalu liar dan tidak dikendalikan, akan membuat seseorang menulis dengan menor.  Ia tidak jujur pada akhirnya. Ia juga tidak mandiri pada akhirnya. Itulah yang harus saya hindari.

Semoga saya bisa konsisten menjaga sikap itu. Tak lupa, dengan sedikit bersenang-senang tentunya.


3 komentar:

  1. terus? sudah berapa benak kamu buahi sampe pada bikin blog? =P

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru satu, Pito. Itu juga gak rutin dirawat. :)) Beda mah sama kamu yang nabi. :D

      Hapus
  2. Ketika cangkruk'an bersama kawan-kawan Persma dan saya tetap bicara tentang verifikasi, itu sama saja menggarami lautan, hehe. Mereka pandai dan kritis. Sebenarnya, saya yang lebih banyak belajar dari mereka, itu faktanya :)

    Terima kasih ya Mas Sahad Bayu, tulisanmu selalu keren.

    BalasHapus