Minggu, 03 Februari 2013

Pada Mulanya adalah Sebuah Warung Kopi


  
Saya masih mengingat senja itu. Senja yang meredup bersama sebuah pesan pendek yang singgah di smartphone saya—tergeletak di sebelah secangkir kopi yang mulai dingin. Beberapa orang tergelak, beberapa mengobrol, saya mengambil jarak. Duduk di bangku kayu di sudut warung, saya lalu membaca pesan singkat itu.

“Gimana kelas Akbernya? Sukses?” Dia menanyakan kelas Akber (Akademi Berbagi) Jember yang selesai dihelat.

Saya membalasnya, “Alhamdulillah, sukses. Ramai.”

Kemudian saya mencoba membaur kembali dengan orang-orang di depan saya. Melebur jarak bersama mereka, sahabat-sahabat baru saya—yang menyertai dan memberikan banyak kesan berarti pada perjalanan baru saya. Mengajak saya untuk berkomunal, bergerak bersama-sama, melakukan sesuatu. Bersama mereka, “obrolan warung kopi” tak selamanya sekadar menghasilkan bual dan buih-buih ludah di sudut bibir.

Di tempat itu, roda Akber Jember pertama kali bergulir. Berkat kerja dan dukungan kawan-kawan saya itu, lambat laun, roda terus bergerak. Menolak diam, walau sesekali tersendat.

Saya adalah pengiman yang buruk, tapi saya percaya bahwa kebaikan adalah magnet yang kutubnya tersebar di segala sudut. Ia akan menarik kebaikan-kebaikan lain. Di tempat itu, saya tak hanya belajar bersama Akber Jember. Tapi juga gerakan yang lain bersama kawan-kawan. Mereka, kawan-kawan saya itu, adalah orang-orang yang secara tidak langsung mengimani omongan Christopher McCandless ketika nyaris meregang nyawa, “Happiness is only real when shared”.

Kami belajar, berkumpul, bergerak, bekerjasama, merayakan hidup dengan bersenang-senang, berbagi, dan sisanya ngopi. Masih tercatat dalam ingatan, sebuah wejangan dari Mas Arif Budiman—yang juga saya dapatkan di tempat itu: bekerjasama dalam kebaikan adalah magnet keberuntungan. Wejangan yang ampuh. Bersama mereka, kawan-kawan saya itu, saya sudah membuktikan. Warung kopi itu adalah wadahnya. Wadah yang sarat arus kebaikan. Dan kebaikan kerapkali mengundang keberuntungan.

Setiap persinggahan adalah setiap upaya menanam kenangan, barangkali. Tidak selalu, mungkin. Tapi membicarakan kenangan adalah membicarakan ingatan yang begitu personal dan intim. Di tempat itu, saya menanam kenangan. Sekarang, ketika tempat itu sudah tidak ada, yang tersisa adalah kenangan yang dituai pelan-pelan. Diam-diam. 

***
Tempatnya tidak begitu luas, kecil malah. Kursi dan mejanya sengaja dibiarkan dari kayu. Cat di dindingnya didominasi dua warna: hijau dan putih. Lokasinya agak susah dijangkau, di sudut area kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Jember. Tapi pengunjungnya tak pernah jera. Mereka setia mengunjungi tempat sederhana itu.  Saya adalah salah satunya. 

Nama warung kopinya menyiratkan sosok yang ramah, Cak Wang. Tagline-nya menggelitik: mempererat tali silaturahmi.  

Seorang kawan pernah bicara pada saya, “Membuka tempat semacam ini adalah mimpi besar saya. Kelak, setelah capek bekerja di kantor, saya akan membuka warung kopi seperti ini.”

Saya tersenyum. Lalu menanggapi, “Lalu dari kacamata bisnis, apa kelemahan warung ini?”

Teman saya membetulkan letak kacamatanya sembari berujar, “Tempat warung ini susah dijangkau, jauh dari arus utama. Tapi pengunjungnya setia. Mirip umat yang taat. Kekuatannya karena kenyamanan lokasi. Tapi segmentasinya terbatas. Hanya orang-orang itu saja. Saya berani bertaruh, ketika owner mencoba membuka di tempat lain, pasti tidak akan berhasil mengelola sebagaimana dia mengelola tempat ini.”

Ternyata tebakan kawan saya salah. Sangat meleset. Man purposes, God disposes. Atau dengan ungkapan yang lebih satir: manusia berencana, Tuhan tertawa. Ternyata justru warung kopi Cak Wang (pertama) yang gugur. Owner memutuskan membuka cabang di tempat lain—yang ternyata lebih ramai. Warung kopi Cak Wang (pertama) itu akhirnya ditutup dengan keputusan berat yang saya yakini dilahirkan dari proses tera berulang kali.

Tapi kenangan tak muat oleh ukuran pertimbangan bisnis. Kenangan akan tetap tegak, mengakar kuat dalam ingatan. Menampik perhitungan laba rugi.

Saya tetap menghormati warung kopi bercat putih-hijau itu sebagai hulu dari segala langkah yang dibuat oleh saya dan kawan-kawan.

Saya lantas teringat omongan Daoed Joesoef, cendekiawan yang lulus cumlaude dari Universitas Sorbonne itu, ketika  mengenang wasiat ibunya, “Jadilah seperti aliran air. Kemanapun dia bermuara, dia masih ingat dari mana ia bersumber.” Kira-kira begitu.

Pada mulanya adalah sebuah warung kopi. Sekadar tempat bercengkerama dan mengaduk-aduk wacana. Tapi kebaikan selalu menemukan jalannya sendiri—mengalir dari cangkir demi cangkir. Menjadi buah pikir, menjadi laku nyata.

Warung kopi bercat putih-hijau itu sudah tidak ada. Yang tersisa bukan hangat aroma kopi yang wanginya menyeruak—atau ampasnya yang pekat dan pahit, tapi kenangan dan  kebaikan yang terlahir, terus mengalir. Tumbuh dan berbiak, menarik kebaikan dan kenangan baru, di tempat lain.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar