Saya masih mengingat senja itu. Senja yang
meredup bersama sebuah pesan pendek yang singgah di smartphone saya—tergeletak di sebelah secangkir kopi yang mulai
dingin. Beberapa orang tergelak, beberapa mengobrol, saya mengambil jarak.
Duduk di bangku kayu di sudut warung, saya lalu membaca pesan singkat itu.
“Gimana kelas Akbernya?
Sukses?” Dia menanyakan kelas Akber (Akademi Berbagi) Jember yang selesai
dihelat.
Saya membalasnya,
“Alhamdulillah, sukses. Ramai.”
Kemudian saya mencoba membaur kembali
dengan orang-orang di depan saya. Melebur jarak bersama mereka, sahabat-sahabat
baru saya—yang menyertai dan memberikan banyak kesan berarti
pada perjalanan baru saya. Mengajak saya untuk berkomunal, bergerak
bersama-sama, melakukan sesuatu. Bersama mereka, “obrolan warung kopi” tak
selamanya sekadar menghasilkan bual dan buih-buih ludah di sudut bibir.
Di tempat itu, roda Akber
Jember pertama kali bergulir. Berkat kerja dan dukungan kawan-kawan saya itu,
lambat laun, roda terus bergerak. Menolak diam, walau sesekali tersendat.
Saya adalah pengiman yang
buruk, tapi saya percaya bahwa kebaikan adalah magnet yang kutubnya tersebar di
segala sudut. Ia akan menarik kebaikan-kebaikan lain. Di tempat itu, saya tak
hanya belajar bersama Akber Jember. Tapi juga gerakan yang lain bersama
kawan-kawan. Mereka, kawan-kawan saya itu, adalah orang-orang yang secara tidak
langsung mengimani omongan Christopher McCandless ketika nyaris meregang nyawa,
“Happiness is only real when shared”.
Kami belajar, berkumpul,
bergerak, bekerjasama, merayakan hidup dengan bersenang-senang, berbagi, dan
sisanya ngopi. Masih tercatat dalam
ingatan, sebuah wejangan dari Mas Arif Budiman—yang juga saya dapatkan di
tempat itu: bekerjasama dalam kebaikan
adalah magnet keberuntungan. Wejangan yang ampuh. Bersama mereka,
kawan-kawan saya itu, saya sudah membuktikan. Warung kopi itu adalah wadahnya.
Wadah yang sarat arus kebaikan. Dan kebaikan kerapkali mengundang
keberuntungan.
Setiap persinggahan adalah
setiap upaya menanam kenangan, barangkali. Tidak selalu, mungkin. Tapi membicarakan
kenangan adalah membicarakan ingatan yang begitu personal dan intim. Di tempat
itu, saya menanam kenangan. Sekarang, ketika tempat itu sudah tidak ada, yang
tersisa adalah kenangan yang dituai pelan-pelan. Diam-diam.
***
Tempatnya tidak begitu luas, kecil malah.
Kursi dan mejanya sengaja dibiarkan dari kayu. Cat di dindingnya didominasi dua
warna: hijau dan putih. Lokasinya agak susah dijangkau, di sudut area kampus
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Jember. Tapi pengunjungnya
tak pernah jera. Mereka setia mengunjungi tempat sederhana itu. Saya adalah salah satunya.
Nama warung kopinya menyiratkan sosok yang ramah, Cak Wang. Tagline-nya menggelitik: mempererat tali silaturahmi.
Nama warung kopinya menyiratkan sosok yang ramah, Cak Wang. Tagline-nya menggelitik: mempererat tali silaturahmi.
Seorang kawan pernah bicara
pada saya, “Membuka tempat semacam ini adalah mimpi besar saya. Kelak, setelah
capek bekerja di kantor, saya akan membuka warung kopi seperti ini.”
Saya tersenyum. Lalu
menanggapi, “Lalu dari kacamata bisnis, apa kelemahan warung ini?”
Teman saya membetulkan letak
kacamatanya sembari berujar, “Tempat warung ini susah dijangkau, jauh dari arus utama. Tapi
pengunjungnya setia. Mirip umat yang taat. Kekuatannya karena kenyamanan
lokasi. Tapi segmentasinya terbatas. Hanya orang-orang itu saja. Saya berani
bertaruh, ketika owner mencoba
membuka di tempat lain, pasti tidak akan berhasil mengelola sebagaimana dia
mengelola tempat ini.”
Ternyata tebakan kawan saya
salah. Sangat meleset. Man purposes, God
disposes. Atau dengan ungkapan yang lebih satir: manusia berencana, Tuhan tertawa. Ternyata justru warung kopi Cak Wang (pertama) yang gugur.
Owner memutuskan membuka cabang di
tempat lain—yang ternyata lebih ramai. Warung kopi Cak Wang (pertama) itu akhirnya ditutup dengan
keputusan berat yang saya yakini dilahirkan dari proses tera berulang kali.
Tapi kenangan tak muat oleh
ukuran pertimbangan bisnis. Kenangan akan tetap tegak, mengakar kuat dalam
ingatan. Menampik perhitungan laba rugi.
Saya tetap menghormati warung
kopi bercat putih-hijau itu sebagai hulu dari segala langkah yang dibuat oleh
saya dan kawan-kawan.
Saya lantas teringat omongan
Daoed Joesoef, cendekiawan yang lulus cumlaude
dari Universitas Sorbonne itu, ketika
mengenang wasiat ibunya, “Jadilah seperti aliran air. Kemanapun dia
bermuara, dia masih ingat dari mana ia bersumber.” Kira-kira begitu.
Pada mulanya adalah sebuah
warung kopi. Sekadar tempat bercengkerama dan mengaduk-aduk wacana. Tapi
kebaikan selalu menemukan jalannya sendiri—mengalir dari cangkir demi cangkir.
Menjadi buah pikir, menjadi laku nyata.
Warung kopi bercat putih-hijau itu
sudah tidak ada. Yang tersisa bukan hangat aroma kopi yang wanginya
menyeruak—atau ampasnya yang pekat dan pahit, tapi kenangan dan kebaikan yang terlahir, terus mengalir.
Tumbuh dan berbiak, menarik kebaikan dan kenangan baru, di tempat lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar