The only constant is a change—Anonim
Rumah
sakit adalah lembaga yang kerap terlihat memiliki dua sisi wajah. Sisi pertama
adalah wajah sebuah institusi yang mengemban nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur. Sisi yang lain adalah wajah sebuah unit usaha yang bergerak di bidang jasa
dengan pencapaian laba sebagai orientasi utama.
Peliknya masalah kesehatan masyarakat modern telah
menghadapkan dua sisi wajah rumah sakit itu kepada ramainya persaingan di
belantara industri dunia kesehatan.
Tuntutan masyarakat yang semakin meninggi,
penyakit yang terus berbiak, ketimpangan jumlah penyedia jasa pelayanan
kesehatan, biaya pengobatan yang kerap tak terjangkau, adalah beberapa masalah
dari tumpukan masalah yang harus dihadapi. Masalah-masalah ini lantas menuntut
rumah sakit sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan untuk terus
memoles wajahnya. Wajah rumah sakit sebagai institusi sosial, sekaligus wajah
rumah sakit sebagai lembaga profit. Secantik mungkin, semenarik mungkin.
Rumah
Sakit Sebagai Anak Perusahaan
Maka setiap rumah sakit harus berbenah.
Mereka harus menyesuaikan diri dengan permintaan jaman yang sedikit memaksa. Industri
boleh berdalih, manusia bisa berdusta, tapi jaman selalu jujur. Jaman akan
memutar roda, memaksa siapapun yang
berjalan bersamanya untuk terus bergerak. Hingga pada akhirnya kita hanya akan
mempunyai dua pilihan: turut serta atau tergilas.
Menyesuaikan diri dengan kondisi sekitar—termasuk segenap kebijakan hukum yang
melingkupi, adalah perihal yang mutlak. Jika menampik, persoalannya bisa
semakin rumit, bahkan berakhir mengenaskan.
Salah satu bentuk penyesuaian yang harus
dilakoni rumah sakit adalah menyesuaikan diri dengan tuntutan Undang-Undang
(UU). Contohnya adalah UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU tersebut
meminta agar rumah sakit yang bergerak di bawah naungan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) harus mengganti statusnya. Status yang dimaksud adalah dari
sebuah unit usaha BUMN menjadi anak perusahaan yang memiliki badan hukum
sendiri.
Ini adalah tantangan yang harus dijawab
oleh rumah sakit yang bergerak dalam naungan BUMN, salah satunya rumah sakit
milik PT Perkebunan Nusantara X (Persero). Tak bisa dipungkiri, bisnis apapun—termasuk industri rumah sakit akan terus
berkembang. Tantangan akan terus datang. Dan untuk mengatasinya, pelaku bisnis harus
pandai-pandai menyesuaikan diri.
Meminjam bahasa korporasi, praktik
menjadikan unit usaha rumah sakit milik PTPN X menjadi anak perusahaan ini
lazim disebut spin-off. Skemanya
cukup jelas. Diawali dengan setoran modal dari PTPN X ke anak perusahaan yang dilanjutkan dengan perjanjian pinjam pakai di
antara kedua belah pihak. Aset tanah, bangunan, peralatan tetap memang masih milik
pihak PTPN X. Namun segenap modal itu bisa dipakai oleh anak perusahaan (PT
Rumah Sakit) yang baru untuk memutar roda bisnisnya.
Tentu saja semua harus disambut dengan
sikap optimis. Optimisme ini tidak berangkat dari angan-angan kosong dan
utopis. Bisnis pelayanan kesehatan oleh rumah sakit adalah bisnis yang lahannya
tidak akan habis dituai. Lahan bisnis
akan terus ada, seiring dengan kebutuhan masyarakat modern terhadap sistem
kesehatan yang semakin kompleks dan lengkap.
Bicara soal kesiapan, unit usaha rumah
sakit milik PTPN X dinilai cukup siap untuk lepas landas menjawab tantangan
menjadi anak perusahaan. Dari hasil FS oleh konsultan independent HCM
Excellence, dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah sakit milik PTPN X memiliki
prospek yang baik. Kesimpulan semakin menguat ketika dari perspektif keuangan
dapat ditilik bahwa laba setiap rumah sakit milik PTPN X pada tahun 2009-2011
selalu di atas minimal surplus pertahun.
Hasil analisis internal juga sepakat bahwa kondisi internal dinilai cukup
kondusif untuk mengoptimalkan segenap potensi pasar yang dimiliki.
Lepas
Landas PT Nusantara Medika Utama
Sabtu,
19 Januari 2013 di Hotel Meritus, Surabaya. Direktur Utama PTPN X, Ir.
Subiyono, MMA didampingi empat orang
direksi lainnya, menandatangani akta Nomor 14 Tanggal 19 Januari 2013 tentang
Pembentukan Perseroan Rumah Sakit. Momen bersejarah ini juga disaksikan para
pejabat puncak dan direktur rumah sakit milik PTPN X.
Secara resmi, hari itu adalah hari
kelahiran anak perusahaan PTPN X yang baru. Anak perusahaan PTPN X yang
bergerak di bidang perumahsakitan itu diberi nama PT Nusantara Medika Utama (NMU). Anak yang baru lahir itu mulai mengepakkan sayap. Lepas landas.
Menerebos cakrawala dunia kesehatan yang tak pernah jelas titik hentinya.
Sebagaimana cakrawala yang luas, dunia kesehatan adalah dunia yang tak habis
dijelajah.
PT NMU berusaha menjawab tantangan itu
dengan kepak sayap yang berani. Filosofi keberanian mengepak sayap dan
menghadapi tantangan itu tersirat dari logo PT NMU yang memakai sayap berwarna
hijau dengan semburat warna kekuningan.
PT NMU terdiri dari tiga buah Rumah Sakit
(RS), yakni RS Perkebunan atau kerap disebut RS Jember Klinik (Jember), RS HVA
Toeloengredjo (Kediri) dan RS Gatoel (Mojokerto). Ketiganya adalah rumah sakit terbaik
di daerahnya masing-masing. Dengan
pencapaian tahunan yang terbilang
memuaskan, ketiga rumah sakit itu boleh mengepak sayap dengan rasa bangga.
Namun sebaiknya, sikap terlampau
berbangga diri sebaiknya ditunda sejenak. Mengingat tantangan yang dihadapi
semakin berat daripada sebelumnya. Sebisa mungkin, PT NMU menghindari jebakan romantisme
masa lalu yang memang mirip dengan kembang gula—sekadar manis dicecap, tapi tidak mengenyangkan.
Upaya menjawab tantangan ini hendaknya
tidak lalai terhadap beberapa sifat khusus pelayanan rumah sakit. Pelayanan
rumah sakit, sebagaimana sistem pelayanan kesehatan pada umumnya, memiliki
beberapa ciri berbeda dibandingkan bisnis pelayanan jasa pada umumnya. Pertama, kebutuhan konsumen terhadap
penyedia layanan kesehatan seringkali sifatnya mendesak. Kedua, toleransi terhadap kesalahan teramat kecil. Ini karena
pelayanan rumah sakit bersinggungan dengan hal yang sangat sensitif: nyawa
manusia. Ketiga, melibatkan banyak
keahlian yang terhubung dengan ketergantungan yang tinggi. Keempat, tolok ukur kualitas pelayanannya seringkali disandarkan
pada penilaian subjektif.
PT NMU memang harus lihai bermanuver dan
lebih memperhatikan rambu-rambu tersebut, untuk menjaga keberadaan mereka di
industri rumah sakit yang semakin riuh oleh persaingan pelaku usahanya.
Tantangan
Strategis
Tantangan
yang dihadapi oleh PT NMU ini adalah tantangan yang harus disikapi dengan upaya
menata strategi. Dari kacamata bisnis, upaya ini pada akhirnya bermuara pada
peningkatan kinerja dan daya saing yang berdampak pada peningkatan profit margin.
Ada beberapa langkah yang bisa diambil
oleh pihak PT NMU untuk mencapai sasaran ini. Langkah-langkah ini bukan pilihan
yang mutlak, mungkin. Namun setidaknya, langkah-langkah berikut bisa memberikan
ragam solusi alternatif agar kepak sayap PT NMU berhasil melibas
saingan-saingannya dalam mengarungi cakrawala dunia kesehatan yang semakin
beriklim kompetitif.
Pertama, melalui peningkatan program pengembangan
Sumber Daya Manusia (SDM). Tujuannya untuk menghasilkan tenaga-tenaga kesehatan
sebagai penyedia utama layanan kesehatan yang cakap, terampil, serta terhubung
dengan baik dalam rangkaian sistem pelayanan yang terkoordinasi. Majunya
teknologi kesehatan hanya akan berdampak bila diterapkan oleh tenaga yang terampil
dan ahli yang saling terhubung. Kegagalan praktik pelayanan kesehatan (malpraktik)
di rumah sakit kerap dipicu oleh kegagalan koordinasi antar tenaga pelayanan
kesehatan di rumah sakit tersebut.
Thomas Lee, dalam Harvard Bussines Review edisi April 2010 pernah berujar bahwa
permasalahan dunia kesehatan bukanlah biaya kesehatan yang terus meninggi. Lee
menilai bahwa permasalahan biaya adalah sekadar symptom (gejala) belaka. “Penyakit” sebenarnya adalah
ketidakcakapan tenaga pelayanan kesehatan (SDM).
Kedua, segmentasi pasar yang diperluas. Selama
ini tiga RS milik PTPN X dikenal sebagai rumah sakit yang memiliki segmentasi pasar
di kalangan menengah ke atas (middle up
consument). Dengan meningkatnya persaingan di kalangan pelaku usaha bidang
perumahsakitan, maka segmentasi pasar yang dibidik diharapkan semakin meluas,
merambah ke semua kalangan. Berubahnya arah segmentasi pasar ini diperkuat oleh
kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yang rencananya akan mulai berlaku di negara ini pada awal tahun
2014 kelak. Diberlakukannya SJSN-BPJS berdampak pada meningkatnya konsumen yang
mendapatkan pelayanan rumah sakit dengan gratis, sebab negara menjaminnya.
Mekanismenya, negara akan menarik iuran dari masyarakat kemudian mengelolanya
sebagai amunisi dari sistem ini. Dengan berlakunya sistem ini, rumah sakit
harus berani membuka diri dan ramah
terhadap segala pasar, demi bertahannya rumah sakit itu sendiri di
tengah arus industri kesehatan yang kian menderas.
Ketiga, melalui pengembangan fasilitas. Tak
bisa dipungkiri, fasilitas memegang peranan penting dalam mendongkrak daya
saing rumah sakit. Dengan fasilitas yang lengkap dan tepat guna, rumah sakit diharapkan
dapat memenuhi tingkat kebutuhan masyarakat akan kesehatan yang semakin
kompleks.
Saya sering teringat analogi satir Jorge
Luis Borges, seorang sastrawan besar Argentina, tentang rumah sakit. Borges
berujar bahwa rumah sakit tak ubahnya sebuah taksi, dengan argometer yang terus
berjalan, tapi pengendaranya tidak kemana-mana selain tetap berada di dalam
taksi. Borges membuat analogi ini untuk menyindir sekaligus bercanda bahwa
pelayanan rumah sakit itu mahal, padahal pasien hanya berbaring di tempat
tidur. Mirip dengan orang naik taksi yang argometernya terus berjalan, tapi
taksinya diam.
Maka rumah sakit harus memperbaiki diri
dengan mengembangkan fasilitasnya agar serupa dengan taksi yang nyaman.
Meminjam analogi Borges, rumah sakit harus menjadi taksi yang sofanya empuk,
remnya pakem, suspensinya enak dirasa, memiliki audio system yang memanjakan telinga, safety belt yang aman, AC yang dingin, dan sebingkis kenyamanan
lainnya.
Keempat, membuat diferensiasi. Diferensiasi
adalah perihal mendasar dalam sebuah bisnis. Diferensiasi akan membedakan unit
bisnis dengan pesaing lain, sehingga pasar lebih mempunyai ketertarikan kepada
kita karena perbedaan kita menjadi daya pikat tersendiri.
Terdapat tiga buah unsur diferensiasi,
yakni konten, konteks, dan infrastruktur. Konten adalah aspek nyata dari
diferensiasi yang ditawarkan oleh rumah sakit kepada pelanggan. Konteks adalah
cerminan cara rumah sakit dalam memberikan penawaran. Dan infrastruktur adalah dimensi sumber daya untuk
membuat diferensiasi.
Contoh diferensiasi adalah proyeksi Rumah
Sakit Perkebunan (RS Jember Klinik)—salah
satu rumah sakit milik PT NMU—yang
berniat menggagas sebuah Trauma Center
atau pusat penanganan kasus kegawatdaruratan traumatik. Konten dalam contoh ini
adalah rumah sakit yang memiliki spesialisasi penanganan kasus kegawatdaruratan
traumatik. Konteksnya adalah
penawaran tenaga kesehatan di bidang kegawatdaruratan yang terampil,
keberhasilan yang tinggi dalam life
saving, serta response time yang
terukur sangat cepat. Dan unsur infrastrukturnya adalah fasilitas Trauma
Center yang canggih dan tepat guna.
Pada contoh ini, upaya menggagas Trauma Center mungkin bisa diawali
dengan meningkatkan peran, mutu, dan kapasitas pelayanan Unit Gawat Darurat
(UGD). Tidak bisa dipungkiri, UGD adalah garda depan pelayanan rumah sakit. UGD
adalah avant garde, yang berpengaruh
besar pada penanaman impresi yang kuat di benak konsumen tentang pelayanan
rumah sakit secara umum.
Jika pelayanan di UGD tidak berhasil
memenuhi harapan konsumen, maka tingkat kepuasan pasien secara umum terhadap
kualitas pelayanan rumah sakit juga rendah. Inilah yang menjadi alasan bahwa
optimalisasi UGD adalah penting. Selain karena UGD adalah ujung tombak
pelayanan, unit ini bisa dijadikan elemen diferensiasi yang membedakan rumah
sakit dengan pesaing lain.
Kelima, memperkokoh pengendalian keuangan rumah
sakit. Tujuannya adalah menciptakan
sistem keuangan yang menyediakan informasi tentang kinerja keuangan rumah sakit
yang dapat diakses oleh setiap tingkatan manajemen,
para pemilik atau pemegang saham, dan para pemakai laporan keuangan (stakeholder)
lain yang dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi. Informasi
ini dapat digunakan pihak manajemen serta pihak terkait untuk merencanakan dan
mengevaluasi sasaran rumah sakit sebagai sebuah unit usaha yang mengedepankan
pencapaian keuntungan sebagai orientasi utama.
Marketing
3.0
Kelima
strategi di atas tadi diharapkan dapat memoles wajah rumah sakit sebagai unit
usaha menjadi begitu menggoda. Wajah yang molek dari kacamata bisnis, dapat
berdampak pada perolehan keuntungan yang tinggi.
Namun, selayaknya kita selalu mengingat,
bahwa wajah rumah sakit kerapkali tampil ganda. Selain sebagai unit usaha yang
mencari profit, rumah sakit juga memiliki wajah sebagai lembaga yang karib
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sisi lain wajah rumah sakit tersebut juga
sama-sama dihadapkan pada riuhnya persaingan—seiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat akan rumah
sakit yang bukan hanya sekadar mencari keuntungan di industri kesehatan, tapi
juga rumah sakit yang humanis.
Maka lanskap pemasaran rumah sakit juga
harus dibenahi. Praktik marketing
sudah dan sedang berubah. Marketing
sebagai bagian yang lekat dengan bisnis apapun—termasuk bisnis perumahsakitan—memang turut berganti seiring dengan
perkembangan bisnis itu sendiri. Suka tidak suka, perubahan di ranah marketing ini sedang terjadi dan tidak
bisa ditampik.
Kebutuhan manusia modern tentang nilai-nilai
yang humanis semakin meninggi. Sehingga marketing
pun juga harus menyesuaikan terhadap kebutuhan tersebut. Marketing gaya baru ini adalah marketing
yang lebih menyentuh sisi human spirit.
Hermawan Kertajaya, pakar marketing
kenamaan (CEO dan Founder MarkPlus,
Inc), menamai fenomena ini sebagai New
Wave Marketing. Atau dalam istilah lain, inilah “Marketing 3.0”
Menurutnya, “Marketing 1.0” adalah pola
pemasaran yang berorientasi untuk mempromosikan produk habis-habisan. “Marketing
2.0” adalah pola pemasaran yang berkiblat untuk memanjakan pelanggan. Dan “Marketing
3.0 “adalah pola pemasaran yang bertujuan untuk menyentuh nilai-nilai human spirit pelanggannya.
Tentu saja konsep “Marketing 3.0” juga
bisa diberlakukan pada rumah sakit. Pola marketing ini lebih sesuai dengan
wajah rumah sakit. Kredo yang berlaku pada “Marketing 3.0” adalah Everyone is a Friend. Maka semuanya
adalah kawan. Rekan bisnis, pasien, teman sejawat, dan segenap elemen lain yang
berkecimpung dalam rumah sakit adalah kawan.
Semua elemen tadi bisa terlibat dalam
percakapan untuk saling mendengarkan apa yang menjadi harapan, kegembiraan,
maupun kegelisahan masing-masing, dalam wadah rumah sakit. Benar-benar konsep
yang humanis dan ramah. Tentu, dengan memegang konsep pemasaran semacam ini,
pihak penyedia jasa (baca: rumah sakit) diharapkan lebih bisa menentukan
strategi yang paling tepat untuk konsumen utama (baca: pasien).
Program nyata yang bisa menjadi contoh
untuk pola pemasaran ini sangat beragam. Rumah sakit bisa menggelar gathering rutin dengan pelanggan,
memberikan ucapan kepada pasien yang berulang tahun, melakukan home visite secara berkala, memperbanyak
kegiatan seminar dan pendidikan kesehatan yang melibatkan konsumen serta masyarakat
sekitar, peningkatan layanan pra hospital
yang baik, atau program-program lain yang bisa digagas, sepanjang berkiblat
pada semangat yang peka terhadap nilai-nilai human spirit.
Berani!
Maka
selayaknya tak ada pias di raut wajah rumah sakit dalam menghadapi tantangan
menjadi anak perusahaan dari PTPN X. Rumah sakit PT NMU, dengan wajah gandanya,
harus berani menjawab tantangan ini. Upaya peningkatan kinerja dan daya saing,
harus diimbangi dengan semangat dan optimisme setiap karyawannya.
Perubahan adalah keniscayaan. Tapi
keberanian menghadapi perubahan adalah perkara pilihan yang akan mempengaruhi
tingkat penyesuaian kita terhadap perubahan. Sedang mereka yang bisa bertahan
bukanlah mereka yang kuat, tapi mereka yang berani dan pandai menyesuaikan diri
terhadap perubahan.
Era menjadi anak perusahaan adalah era
baru yang penuh harapan. Mirip dengan fajar baru yang membuka hari. Terang,
tapi tidak menyengat, bahkan menyehatkan. Sehingga tak ada ruang bagi dalih
sekecil apapun untuk menundukkan wajah. Wajah rumah sakit PT NMU harus tegak, menatap
ke depan, siap menghadapi segala tantangan yang sudah berbaris. Kemudian
mengatasinya, satu demi satu.
======================================================================
Esai
ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Internal PT Perkebunan Nusantara
X (Persero).
Tema yang dipilih adalah “Rumah Sakit Sebagai Anak Perusahaan: Menyongsong Masa Depan Baru”.
Tema yang dipilih adalah “Rumah Sakit Sebagai Anak Perusahaan: Menyongsong Masa Depan Baru”.
TAKTIK MENDAPATKAN MITRA
BalasHapusSEKALIGUS TAMBAHAN MODAL INVESTASI & MODAL KERJA
Berdasarkan pengalaman membangun rumah sakit ketika itu adalah saat dana untuk pembangunan dan modal kerja sudah makin menipis, sementara saya masih membutuhkan tambahan dana untuk menyelesaikan beberapa bangunan agar rumah sakit segera beroperasional, maka saya mengajukan kemitraan lagi sama pihak lain. Seperti diketahui rumah sakit adalah portofolio dari subisnis unit di dalamnya, seperti contoh adalah usaha perjualan obat dan sediaan farmasi. Tetapi penjualan obat dan sediaan farmasi ini terbiasa dikelola sendiri oleh rumah sakit. Bagi pemodal besar tentunya gampang untuk menginvestasikan banyak modal kemudian dikelola sendiri penjualan obat dan sediaan farmasinya. Konsekuensi dari pengelolaan itu adalah penambahan modal kerja dan modal investasi untuk sarana dan prasarananya. Mengadopsi pola kemitraan maka saya menjalin kemitraan dengan para pemilik apotek yang ada disekitar lokasi rumah sakit tersebut. Dengan perhitungan tertentu, volume pendapatan atas penjualan obat dan sediaan farmasi dapat dihitung dan ditawarkan pada mitra. Mitra sebagai franchisee memiliki kewajiban membayar franchisee fee dan royalty fee atas omset penjualan. Mitra juga berkewajiban menyediaan karyawan yang akan diintegrasikan kedalam sistem rumah sakit secara luas. Asumsi penulis ketika itu, para pemilik apotek ini berani menginvestasikan uangnya untuk sewa tempat dan modal kerja untuk sediaan obat dan farmasinya tentu akan sangat tertarik jika semua transaksi obat dan sediaan farmasi akan mereka dapatkan, tentu dengan perjanjian kemitraan yang teliti dan hati-hati.
Singkat cerita, penulis mengadakan lelang untuk menjadi mitra pengelola usaha apotek tersebut dan hasilnya ada sekitar 8 peminat untuk menjadi mitra rumah sakit tersebut. Karena banyaknya peminat itu maka rumah sakit berhasil mendapatkan franchisee fee yang paling bagus dan royalty fee yang terbaik juga. Dan hasil pembayaran franchisee fee adalah untuk menambah modal pembangunan serta rumah sakitpun tak akan dibebani dengan modal kerja untuk membeli obat dan persediaan farmasi. Semoga sekelumit kisah ini bisa menginspirasi untuk berbisnis rumah sakit. Selamat mencoba dan berinovasi. Kunjungi juga aboutdmuh.blogspot.co.id untuk tulisan lainnya.
TAKTIK MENDAPATKAN MITRA
BalasHapusSEKALIGUS TAMBAHAN MODAL INVESTASI & MODAL KERJA
Berdasarkan pengalaman membangun rumah sakit ketika itu adalah saat dana untuk pembangunan dan modal kerja sudah makin menipis, sementara saya masih membutuhkan tambahan dana untuk menyelesaikan beberapa bangunan agar rumah sakit segera beroperasional, maka saya mengajukan kemitraan lagi sama pihak lain. Seperti diketahui rumah sakit adalah portofolio dari subisnis unit di dalamnya, seperti contoh adalah usaha perjualan obat dan sediaan farmasi. Tetapi penjualan obat dan sediaan farmasi ini terbiasa dikelola sendiri oleh rumah sakit. Bagi pemodal besar tentunya gampang untuk menginvestasikan banyak modal kemudian dikelola sendiri penjualan obat dan sediaan farmasinya. Konsekuensi dari pengelolaan itu adalah penambahan modal kerja dan modal investasi untuk sarana dan prasarananya. Mengadopsi pola kemitraan maka saya menjalin kemitraan dengan para pemilik apotek yang ada disekitar lokasi rumah sakit tersebut. Dengan perhitungan tertentu, volume pendapatan atas penjualan obat dan sediaan farmasi dapat dihitung dan ditawarkan pada mitra. Mitra sebagai franchisee memiliki kewajiban membayar franchisee fee dan royalty fee atas omset penjualan. Mitra juga berkewajiban menyediaan karyawan yang akan diintegrasikan kedalam sistem rumah sakit secara luas. Asumsi penulis ketika itu, para pemilik apotek ini berani menginvestasikan uangnya untuk sewa tempat dan modal kerja untuk sediaan obat dan farmasinya tentu akan sangat tertarik jika semua transaksi obat dan sediaan farmasi akan mereka dapatkan, tentu dengan perjanjian kemitraan yang teliti dan hati-hati.
Singkat cerita, penulis mengadakan lelang untuk menjadi mitra pengelola usaha apotek tersebut dan hasilnya ada sekitar 8 peminat untuk menjadi mitra rumah sakit tersebut. Karena banyaknya peminat itu maka rumah sakit berhasil mendapatkan franchisee fee yang paling bagus dan royalty fee yang terbaik juga. Dan hasil pembayaran franchisee fee adalah untuk menambah modal pembangunan serta rumah sakitpun tak akan dibebani dengan modal kerja untuk membeli obat dan persediaan farmasi. Semoga sekelumit kisah ini bisa menginspirasi untuk berbisnis rumah sakit. Selamat mencoba dan berinovasi. Kunjungi juga aboutdmuh.blogspot.co.id untuk tulisan lainnya.