Selasa, 08 Januari 2013

Jarak, Sudut, dan Orang Ketiga


Gambar diunduh dari sini


Sejujurnya, saya adalah orang yang skeptis. Saya tidak mudah begitu saja percaya tentang apa yang saya dengar, saya lihat, saya baca, saya terima. Saya akan senantiasa mengambil jarak, agar lapang pandang saya lebih luas. Saya tidak mau berfokus pada daun yang jatuh, lalu menyalahkan angin. Namun saya akan melihat hutan, agar saya memperoleh celah untuk melihat ranting, melihat dahan dan mengamati gerak-gerik angin. 

Mungkin karena itulah saya kerap terlihat murung. Beberapa kawan bahkan mengatakan saya peragu. Mereka mungkin benar, tapi saya hanya berusaha mengambil jarak, mencari sudut lain, dan senantiasa memposisikan saya sebagai orang ketiga. 

Orang ketiga? Ya, orang ketiga.
Buat saya orang ketiga adalah posisi yang netral. Jangan disempitkan pada istilah hubungan antara lelaki dan perempuan, dimana orang ketiga selalu berkonotasi jelek. Orang ketiga adalah orang yang bisa melihat jelas subjektivitas orang pertama dan orang kedua. Ia juga senantiasa jernih melihat objektivitas masalah antara orang pertama dan orang kedua. Sebab dia menjauhkan diri dari belitan kepentingan antara orang pertama dan orang kedua. 

Kebiasaan saya ini mengingatkan saya pada sembilan elemen jurnalisme ala Bill Kovach yang terkenal itu. Elemen pertama adalah verifikasi. Seorang jurnalis seyogyanya harus menjadi skeptis seumur hidup. Bill Kovach sendiri adalah legenda jurnalisme Amerika, bahkan legenda jurnalisme modern. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah TEMPO, yang menurut saya sangat susah dalam menilai seseorang, sampai mengatakan bahwa sulit sekali menemukan kesalahan Kovach. 

Well, saya bukan jurnalis. Pekerjaan saya jauh dari dunia perburuan berita, desk demi desk, dimarahi redaktur senior, atau tekanan demi tekanan yang seakan memaksa kita menulis dengan kecepatan cahaya. Saya malah bekerja di rumah sakit, di Unit Gawat Darurat tepatnya. Unit yang menjadi surga buat mereka yang skeptis. Prinsip yang berlaku: semua harus dianggap salah sebelum terbukti benar.

Di luar itu, sikap skeptis menuntun saya agar merelatifkan kebenaran. Kebenaran senatiasa bisa direvisi. Pelajaran apapun bisa salah. Sehingga yang berlaku adalah kebenaran di tataran fungsional, bukan kebenaran filosofis. Bahwa seminggu ada tujuh hari, semenit ada 60 detik, nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah sekian, masturbasi tidak mempengaruhi kesuburan pria, siklus menstruasi mempengaruhi emosional wanita, dan hal-hal lain yang bersifat semacam itu. Di luar itu, sisanya menjadi relatif. Apalagi siapa benar-siapa salah. Itu bias. Kecuali di sinetron. 

Saya selalu teringat omongan seorang kawan karib. Dia pernah berseloroh, jarak terpendek antara dua titik adalah garis, tapi hidup membuat kita melaluinya dengan jalan memutar.
Saya sepakat. Bahkan buat saya hidup membuat kita melalui jarak terpendek di antara dua titik tadi bukan dengan sekadar berputar, tapi berputar-putar. 

Hidup bukan perkara linier. Saya benar-benar memegang kredo ini. Banyak hal tak terduga dalam hidup yang membuat kita melakukan hal yang tak terduga juga. Sehingga saya selalu memilih diam ketika banyak orang menghakimi, mengolok-olok, atau justru menghujat kesalahan orang lain. 

Ambil contoh, ketika kasus video Ariel-Luna tersebar ke publik. Banyak orang menghujat Ariel sekaligus mencibir Luna. Tapi pertanyaannya, apakah mereka yang mencibir dan menghujat tadi bisa berlaku yang sama dengan mereka ucapkan ketika mereka dihadapkan pada kesempatan yang diperoleh Ariel-Luna sehingga mereka melakukan itu?


Kalau saya, bakal menjawab, "Entahlah". Saya tak bisa menjamin sikap saya diam saja ketika saya berada di posisi Ariel, ketika Luna Maya memberikan kesempatan macam itu. Maka saya tak berani menghakimi mereka. Menolak menjadi polisi moral dengan pangkat apapun. Saya juga menampik sikap nyinyir yang seakan memposisikan diri  lebih tinggi sehingga saya menganggap diri patut untuk mencemooh mereka dengan cara halus sekalipun. Sebab selain saya tidak punya hak, saya juga khawatir nantinya saya akan mendapat kesempatan yang sama dengan Ariel, kemudian saya tidak konsisten dengan sikap saya sebelumnya. Bisa jadi saya bertindak lebih dari sekadar apa yang dilakukan Ariel.


Kehidupan modern menjadikan manusia memiliki peluang yang sama besar untuk menjadi bijak bestari, menjadi asusila, atau justru menjadi pecundang yang tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. 


Saya juga teringat kisah Musa yang menerima wahyu di Gunung Sinai. Konon, Musa diceritakan melihat sebuah semak belukar yang terbakar dan suara menggelegar yang mengaku itu adalah Tuhan. Jika Musa adalah skeptis dan hidup di jaman modern, maka Musa tidak bakal langsung percaya. Ia akan memeriksa lingkungan sekitar semak belukar yang tebakar itu. Barangkali menemukan puntung rokok yang dibuang sembarangan dan mengakibatkan terbakarnya semak belukar, sekaligus memastikan tidak ada sound system dan tape recorder di daerah sekitar semak yang memunculkan suara menggelegar. 


Anekdot yang sedikit berlebihan, mungkin. Tapi kira-kira begitulah gambaran orang skeptis.
Orang boleh bilang saya tidak punya prinsip, sembari menghardik saya dengan petuah macam if you don’t stand for something, you’ll fall for anything. Tapi buat saya, prinsip yang saya pegang adalah skeptis dalam perkara apapun. 


Sikap skeptis buat saya adalah sikap yang membebaskan. Dari jerat dogma. Dari kungkungan stigma. Sebab semuanya memang serba relatif.


Kehidupan ini adalah perkara menjadi pemulung. Ambil yang menurut saya baik, buang yang menurut kita buruk Saya hormati dan tidak saya permasalahkan pilihan orang lain. 


Semesta memberkati orang-orang ketiga yang senatiasa mengambil jarak dan melihat dari beragam sudut. 


Oh iya, jangan terlalu serius baca  tulisan keminter ini. Hidup cuma sebentar.

1 komentar:

  1. tapi frase "prinsip yang saya pegang adalah skeptis dalam perkara apapun" means you already stand for something.
    if you doubt the meaning, don't use the language.

    BalasHapus