Minggu, 01 Juli 2012

Lost in Slerok

John, Robert, dan Regis masih belum beranjak dari tempat mereka. Sesekali mereka bercakap-cakap dengan suara yang lirih. Tangan mereka lincah. Mengambil, memakai, dan meletakkan instrumen bedah ala kadar. Sedang seorang di hadapan mereka masih belum bergerak. Lebih mirip sosok yang tertidur pulas.

Sosok yang tidak bergerak itu adalah seorang pasien yang usai disuntik obat bius oleh Regis, si perawat anestesi. Dagu pasien itu kerowak setelah terkena ledakan ranjau. Luka menganga di dagu itu hendak dioperasi oleh John dan Robert. Di rumah sakit? Alih-alih demikian. Mereka mengerjakan operasi itu di sebuah rumah tua yang gelap dan nyaris roboh yang mereka sulap jadi unit gawat darurat yang benar-benar darurat, di pegunungan Afghan yang dingin. Jauh dari kelengkapan sarana dan prasarana. Jauh dari puja-puji dan sanjungan. Jauh dari segalanya.

Saya mendeskripsikan apa yang dilakukan oleh John dan kawan-kawannya itu setelah membaca sebuah buku berjudul The Photographer. Sebuah memoar perjalanan yang ditulis berdasarkan jepretan foto jurnalis asal Perancis, Didier Levefre, yang memasuki rimba perang di Afghanistan bersama sebuah organisasi nirlaba bernama Medical San Frontiers (MSF). MSF punya nama lain Doctor Without Border, sebuah organisasi yang beranggotakan relawan tenaga kesehatan (bukan cuma dokter) yang memberikan pelayanan kesehatan di daerah-daerah tidak terjangkau akses kesehatannya. Entah karena faktor bencana alam, atau justru karena bencana masif buatan manusia: perang. John, Robert, dan Regis adalah relawan-relawan MSF yang memberikan pelayanan di daerah pelosok Afghanistan pada saat masa perang Rusia-Afghanistan.
Potongan halaman novel grafis The Photographer

Kisah-kisah yang dialami oleh relawan MSF ini sungguh membuat trenyuh, di samping tentunya inspiratif. Semacam sebuah anomali di tengah stigma jelek terhadap dunia pelayanan kesehatan yang kerap dituding cacat moral hanya karena perkara modal. MSF alih-alih berpikir soal modal, mereka memikirkan masa depan mereka sendiri rasanya tidak. Yang jadi concern mereka adalah bagaimana tidak ada batas dalam pelayanan kesehatan, sesuai namanya: without border.

Saya selalu ingin bergabung dengan organisasi macam MSF. Kalau pun tidak sebesar mereka, saya berminat bergabung dengan organisasi yang arah gerakannya mirip dengan MSF. Sayang, setahu saya di Indonesia belum ada.

Namun saya sedikit lega saat saya diajak oleh beberapa rekan untuk melakukan perjalanan ke desa Slerok, Kecamatan Ledokombo, Jember. Tujuannya, melakukan tindakan bedah minor paling penting bagi kaum lelaki: sirkumsisi.
Toh, hitung-hitung mencoba cari sensasi baru. Mematut-matutkan diri sendiri dengan laku MSF. MSF menembus hutan belantara dan gurun untuk melakukan pelayanan kesehatan. Saya naik ke Slerok untuk melakukan sirkumisisi. Berlebihan ya? Tak usah protes. Hehehe.

Sirkumsisi atau khitan sudah dilakukan sejak jaman Mesir kuno. Mumi-mumi yang diawetkan sudah dalam kondisi tersirkumsisi. Pertimbangannya pun juga karena masalah kesehatan kelamin. Memang, tak bisa dipungkiri, peradaban Mesir kuno sangat maju. Adab khitan ini lalu menular ke orang-orang Yahudi kuno, menjalar ke jazirah timur tengah dan bertahan sampai sekarang. 

Yang menarik bukan sekadar sirkumsisinya. Tapi Slerok itu sendiri. Jujur, saya pun baru pertama kali mendengar nama Slerok sekitar beberapa minggu yang lalu saat seorang kawan mengajak saya ke sana.

Slerok terletak sekitar 45 kilometer arah timur laut dari kota Jember. Untuk ke sana, memakan waktu sekitar 1,5-2 jam dari pusat kota. Lokasinya di lereng gunung Raung.

Jangan dikira jalurnya mudah ditempuh. Lumayan susah, apalagi kalau naik motor. Apalagi motor bebek. Tidak direkomendasikan. Betapa tidak, jalannya terjal dan berbatu. Menanjak pula. Menaiki sepanjang lereng gunung Raung. Memasuki kawasan hutan pinus yang dingin dan tidak ramah sinyal.

Saya beruntung karena saya naik motor trail milik seorang kawan. Kawan-kawan yang lain beberapa diantaranya naik menggunakan mobil sewaan dengan gardan ganda.





Karena memang di daerah gunung, segala akses terbatas. Sepanjang jalan, saya mendapati puskesmas sebagai prasarana penunjang kesehatan masyarakat letaknya sangat jauh dari lereng gunung. Apalagi sekolah, pasar, dan pertokoan. Slerok lebih mirip kawasan yang hilang.

Setelah menempuh jalan yang susah sekitar 1 jam, kami sampai di lokasi. Rumah-rumah di Slerok tidak ada yang menggunakan bangunan dari batu bata. Hanya dari papan kayu. Pertimbangannya, sebab lahan penduduk di sana secara legal dimiliki oleh Perhutani yang menanungi area hutan pinus di sana. Memberikan izin bangunan permanen hanya akan membuat masalah baru. Utamanya menyoal urusan klaim kepemilikan lahan kelak. Di samping memang, bangunan permanen agak susah jika didirikan di Slerok. Lokasinya yang susah dan kontur tanahnya yang berbatu-batu, membuat hal itu agak susah diterapkan.
Listrik? Di sini listrik menggunakan generator kecil. Itu pun hanya beroperasi 6 jam setiap hari. Selamat tinggal infotainment.




 Begitu sampai di lokasi, masyarakat yang cuma segelintir orang itu meyambut kami dengan tenda biru ala kadar. Lokasinya di sebelah Sekolah Dasar (SD) yang selama ini sudah menjadi target aksi sosial teman-teman yang mengajak saya itu.

Saya sedikit cerita soal SD ini. Kelasnya? Hanya dua!! Kelas 123 dan kelas 456. Sehingga kegiatan belajar mengajar setiap harinya, ada tiga tingkat dalam satu kelas. Mengenaskan. Mengerikan.

Yang bercat kuning itu sekolah. SEKOLAH!!

SD ini sudah pernah dicat dan diperbaiki oleh teman-teman. Beberapa buku juga disumbangkan untuk SD ini. Sebab memang buku menjadi barang mahal di Slerok. Buku pelajaran sekolah maupun buku yang lain. Komik sekalipun. Jangan harap mereka mengenal nama-nama besar dan Magnum Opus macam sosok dan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Jangan harap.



 Usai disambut hangat dengan prosesi doa bersama, sirkumsisi dimulai. Anak-anak sangat antusias, saya apalagi. Syukurlah, tak ada masalah yang berarti. Anak-anak juga kooperatif. Mereka bersedia disirkumsisi tanpa harus dipaksa. Itu yang penting. Di Jerman, anak-anak dilarang disirkumsisi kalau mereka tidak minta sendiri. Ah, saya membicarakan Jerman dengan membandingkan Slerok. Jauh, jauh sekali. Tapi memang itu yang penting. Masa untuk soal potong ujung kemaluan saja anak-anak harus mendapat tekanan dan intimidasi dari orang tua?


Menunggu giliran.




Setelah prosesi potong ujung kemaluan selesai, penduduk setempat mengajak jalan-jalan ke sumber mata air. Saya tertarik dan memutuskan ikut.

Kami menempuh perjalanan naik motor sekitar 30 menit melewati jalan yang tak kalah susah dari awal perjalanan, sehingga perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 30 menit lagi, kami sampai. Dan bagaimana sumber mata air yang ditawarkan? Eksotik kah? Saya sengaja menangguhkan cerita ini. Bukan karena ingin membuat penasaran. Tapi karena kerapkali kenyataan tak berbanding lurus dengan ekspektasi. Sumber mata air tak lebih dari sekadar pancuran air kran. Tapi niat baik penduduk saya hormati.Toh, perjalanan ke sumber mata air ini lumayan menyenangkan.


Ini Cak Wang, teman saya. Bukan Tarzan.

Slerok, sekali lagi, mirip dengan area yang hilang. Agak ironis saya kira, di saat penduduk Jember yang lain sedang mencoba bergembira di event tahunan yang penuh sorak sorai macam BBJ (Bulan Berkunjung Jember), masyarakat Slerok masih bersusah payah di lereng Gunung Raung yang senyap dan asing.

Ah, saya kangen Slerok. Ingin ke sana lagi. Tak harus sirkumsisi lagi, memang. Tapi bersenda gurau dengan anak-anak kecil itu, membacakan cerita, atau apapun. Yang penting bertindak. Sisanya, berdoa saja untuk mereka. Walaupun kata orang bijak, berdoa (saja) tanpa bertindak adalah selemah-lemah iman.