Jumat, 07 September 2012

Anak Sulung Bernama "ALERT!"




Saya membuka paket buku yang berbungkus kertas berwarna merah itu dengan perlahan. Sangat pelan. Semacam sikap berhati-hati yang terlewat berlebihan. Seperti seniman keramik yang memperlakukan karya pertamanya, khawatir pecah. Atau sebagaimana seorang koki yang mengeluarkan masakan pertamanya dari dalam microwave, takut tumpah. Selayaknya seorang pelukis yang hendak membingkai lukisan pertamanya lalu ia pajang di dinding kamar, khawatir robek. Dan persis seperti seorang ayah yang pertama kali menimang anak sulungnya. Kaku dan cemas, tapi senang bukan kepalang. 

Setelah berjeda sekian detik, ada perasaan aneh yang berkumpul di rongga dada. Sedikit menyesakkan. Membuat mulut saya sedikit bergetar, dan mata saya menatap menerawang jauh. Kemudian sisanya adalah sensasi yang aneh. Lebih aneh dari orgasme pertama saat mimpi basah di kala masa pubertas remaja. Sensasi yang tidak terbayang sebelumnya. Semacam perasaan yang sukar dijelaskan. Semisal tiba-tiba terjebak berdua di dalam lift dengan  perempuan cantik macam Gong Li atau Laura Basuki selama berjam-jam.

Saya menatap buku itu. Ada nama saya di halaman depannya. Saya berteriak dalam hati saat membaca nama itu. Juga berpekik sekencang mungkin di dalam batin ketika membaca judul bukunya. 

Kemudian saya menciumnya perlahan. Dari sampul, hingga lembar-lembar yang aromanya khas. Khidmat. Sambil berdoa. 

***

Saya dibesarkan di lingkungan dengan iklim baca-tulis biasa saja. Bahkan cenderung lemah. Di keluarga besar kakek-nenek saya, hanya bapak yang sedikit gemar membaca. Bapak saya adalah penggemar cerita silat. Beliau adalah fans militan Kho Ping Hoo sedari muda. Bahkan terlampau fanatik, sehingga susah diluruskan. Bapak selalu menolak menerima pendapat bahwa Sin Tiauw Hap Liu  atau yang populer dengan The Return of Condor Heroes dan To Liong To atau Golok Pembunuh Naga adalah karangan Chin Yung. Menurut Bapak, kedua epik legendaris itu adalah karya Kho Ping Hoo. Saya akhirnya mengalah saja. Toh, bagaimanapun, sedikit atau banyak, urat baca saya dipengaruhi oleh fanatisme Bapak terhadap buku-buku cerita silat. 

Kecintaan saya terhadap buku kian menguat di masa-masa kuliah. Saya waktu itu banyak menghabiskan waktu di selasar perpustakaan kota. Meminjam banyak buku-buku karya nama-nama besar yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Maklum saja, saya dibesarkan di kota kecil dengan semangat literasi yang lesu. Sehingga praktis, wacana saya soal buku sangat terbatas. Dan tak aneh ada sikap kemaruk saat saya kuliah di kota yang semangat literasinya cukup kuat. Saya seakan ingin melahap bacaan apa saja. Tapi sikap kemaruk itu tidak baik. Sebab ujung-ujungnya cukup banyak buku yang tidak selesai dibaca. 


Dari situ pula saya memiliki niat yang tumbuh liar menjadi obsesi. Bahwa kelak suatu hari, saya harus menulis buku. Apapun kelamin buku itu nantinya. Niat yang tumbuh liar ini kadang menyeruak, mengganggu kejernihan berpikir. Yang ada saat itu adalah niat menulis buku untuk gagah-gagahan. Karena liar, saya pun belajar dengan liar. Saya yang tidak punya dasar metode menulis yang baik mengingat latar belakang keluarga dan pendidikan saya, akhirnya hanya sekadar menulis ngawur. Dan untuk sekian lama, niatan yang liar tadi hanya tumbuh menjadi sekadar niatan, yang tak pernah menjadi kongkrit. Saya tak juga menulis buku walau secara kebetulan tulisan-tulisan saya yang tidak jelas pernah dimuat beberapa kali di surat kabar-surat kabar yang tidak kalah tidak jelas oplah serta kapasitasnya.

Maka ijinkan saya mengucap syukur kepada semesta raya, yang mempertemukan saya dengan orang-orang baik lewat berkah akhir zaman bernama internet. Lewat internet, saya bertemu guru-guru virtual yang mengajari saya menulis, membuka wawasan, memperkaya sudut pandang, menajamkan gagasan, atau sekadar cengengesan. Sampai sekarang, banyak dari mereka yang tak pernah saya jumpai batang maupun bulu hidungnya. Tapi ilmu yang mereka berikan di balik sikap nyinyir, umpatan, maupun omelan, banyak yang saya pakai untuk merapikan niatan menulis buku, sebelumnya tumbuh liar, sekaligus benar-benar mewujudkannya dalam bentuk buku.

Sampai pada akhirnya buku itu selesai juga. Saya beri nama ia ALERT! Dengan meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, anak rohani saya akhirnya lahir juga. Mungkin bagi sebagian orang ini adalah anak rohani yang lahir prematur. Menganggap rahim saya tidak cukup kuat untuk mengandungnya. Tapi itu tak jadi soal. Anak-anak rohani saya akan dituntun semesta untuk menguatkan dirinya sendiri setelah lahir. 

ALERT! saya tulis dengan proses yang singkat namun dengan konsepsi ide yang lama. Belum lagi niatan menahun yang sudah mengakar di benak saya. Secara teknis, penggarapannya sekitar dua bulan. Saya bukan tipikal orang yang menulis dengan khusyuk. Saya belajar untuk menulis di mana saja, dengan piranti apa saja. Sehingga saya mencoba memaklumi diri sendiri ketika saya banyak melakukan salah ketik, sebab saya kerap menulis dengan ponsel. Menulis dengan ponsel mengkondisikan diri saya dengan mudah menabrak pengaturan tanda baca dan sekian aturan baku lainnya. Ini bukan apologi, hanya semacam penjelasan yang kurang penting. 

Saya selalu percaya bahwa menulis adalah persoalan berdamai dengan diri sendiri. Ketika batin sedang berkecamuk dengan keresahan-keresahan dan perang hebat terjadi di dalamnya, menulis adalah laku perdamaian yang paling ampuh. Atas dasar itulah saya menuliskan ALERT!, yang berangkat dari "keresahan" saya selama menjalani profesi saya di rumah sakit.

Dunia kesehatan adalah dunia yang kompleks. Masalah terus datang dan problematika terus berbiak. Tuntutan masyarakat juga kian meninggi. Belum lagi dilema aspek etis karena sektor yang dihadapi adalah sektor yang sensitif sebab kaitannya dengan hidup-mati seseorang. Itu semua menjadi semakin susah ketika kita diharuskan mengatasi rangkaian kompleksitas itu dalam waktu yang cepat, dalam tekanan yang terus menghimpit, sebagaimana di Unit Gawat Darurat. 
Segenap hal yang ada dalam kompleksitas itu yang saya coba damaikan dengan diri saya sendiri. Sebisa mungkin saya mencoba mengurai ragam permasalahan yang kerap terselip dan terlewat, namun keberadaannya kerap dirasa penting. 

Saya juga merasa bahwa saya adalah seorang pelupa. Maka dari itu, saya menulis. Saya menulis hal-hal yang penting namun kerap terabaikan dalam sistem pelayanan gawat darurat agar minimal diri saya sendiri tidak lupa. Seperti pepatah Latin yang usang, scripta manent verba volant. Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.

 Dua hal yang mendasari mengapa saya menulis ALERT! tadi saya lengkapi dengan semangat berbagi. Barangkali saja ide-ide yang saya rangkum dalam buku ini, bisa berarti bagi orang lain. Saya sepakat bahwa sifat dasar ide adalah saling mempengaruhi. Jadi saya mencoba menyebarkan pengaruh yang saya anggap baik, melalui buku ini. Dan yang menjadi sasaran bukan hanya mereka yang berkutat dan bergelut sebagai subjek di tengah permasalahan pelayanan kesehatan (utamanya gawat darurat) yang kian majemuk. Namun juga masyarakat secara umum. Banyak hal yang menarik dari ruang sempit bernama Unit Gawat Darurat yang masyarakat tidak tahu, sekadar sebagai informasi atau bahan pembelajaran secara umum. 

Unit Gawat Darurat adalah unit yang penuh paradoks. Ada silang sengkarut nilai yang bertebaran di sana. Di tempat itu, ironi dan tragedi sama pekatnya dengan harapan dan optimisme. Peluang berbuat salah menganga lebar sekaligus didampingi oleh itikad baik untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Ini adalah unit yang manusiawi, bukan unit yang dihuni sekawanan peri atau bahkan mutant yang penuh keajaiban.

Well, saya tidak menaruh ekspekstasi yang berlebih kepada anak saya ini. "Biarkan semesta yang menuntun," begitu kata Paulo Coelho di The Alchemist. Sampai saat ini, saya merasa tidak cukup profesional untuk menulis buku. Itu memang benar, saya berangkat dengan semangat amatir. Amatir sendiri berasal dari bahasa Perancis, yakni amateure yang bermakna bersenang-senang.Tapi bukan berarti saya kurang serius. I'm playing seriously.


Saya akan membiarkan anak saya ini tumbuh dan mengembara dengan caranya sendiri. Saya menitipkan doa padanya, agar ia bisa membawa kebaikan, terlebih mampu menggandakan kebaikan itu. Dan saya juga berdoa, agar kelak ia mengabadi tentunya, sebagaimana fitrah anak rohani pada umumnya.

Saya sepakat agar kelahiran anak sulung ini dirayakan. Langkah pertama, adalah dengan berbagi berita gembira. Langkah kedua adalah dengan mengapresiasinya melalui proses membaca. Dan langkah ketiga, sekaligus langkah yang paling penting adalah mencarikan kawan untuknya, menghadirkan adik baginya, dengan terus menulis buku. 

 Stay healthy, stay ALERT!


1 komentar: