Saya mencintai komik sedari kecil. Diawali dengan membaca komik Kapten Surya yang terbit mingguan di harian mingguan Surya. Saya juga sempat jatuh hati pada komik-komik lawas besutan legenda macam R.A Kosasih, Jan Mintaraga, Ganes T.H, atau Teguh Santosa. Lalu sempat membaca komik-komik Jepang yang ramai menyerbu. Saya sewaktu kecil amat suka komik karya Takeshi Maekawa yang terkenal dengan Kungfu Boy itu. Dan tentunya saya sangat menggilai Ryo Saeba, tokoh di komik City Hunter garapan Hojo Tsukasa. Mungkin komik yang terakhir ini yang membuat saya sampai sekarang cenderung suka berpikir mesum. Halah.
Komik bagi saya adalah salah satu karya produk seni rupa yang sangat minim diapresiasi. Sehingga, sampai sekarang stigma negatif terus melekat. Komik selalu dianggap bacaan kasta rendah. Tidak berbobot, tidak mendidik, merusak, dan lainnya. Saya berani taruhan potong kuku, orang-orang yang beranggapan demikian adalah orang-orang yang sebenarnya urat bacanya lemas dan imajinasinya terbatas.
Saya sempat bercita-cita menjadi komikus. Membayangkan serunya mencipta karakter, menata frame, berpikir sinematografik, memainkan alur dan tentu saja serunya mendengarkan gesekan pensil dengan kertas. Ah!
Dan tentu saja saya memiliki komikus favorit. Buat saya, karya komik, sebagaimana buku, memiliki kedekatan personal dengan pembaca. Sehingga jangan protes apabila dalam daftar komikus lokal favorit saya ini saya mengesampingkan nama-nama legenda macam R.A Kosasih, Ganes TH, atau yang sejaman dengan mereka. Tema, gaya, dan eksplorasi yang mereka ambil saat itu sangat seragam.
Saya juga mengesampingkan talenta-talenta berbakat maam Chris Lie, Adrian Syaf, atau teman-teman mereka yang sudah go international dengan bergabung di industri komik Amerika. Sebab bagi saya komikus itu harus komplit, mereka bukan sekadar membuat cerita bergambar, namun harus mampu membuat gambar yang bisa bercerita. Nama-nama yang saya sebut tadi menurut saya "hanya" jago menggambar, secara anatomis. Itu saja. Di samping beberapa faktor yang sebaiknya kita bahas di postingan entah yang mana.
Sudahlah, saya sebutkan saja komikus lokal favorit saya. Dan apa yang saya tulis di sini sama sekali bukan berdasarkan peringkat di hati saya (duile, bahasa saya). Kenapa cuma empat? Terserah saya. Sebagaimana pantasnya, yang tidak setuju silakan membuat posting sendiri. Hehe.
1. Beng Rahadian
Beng adalah salah satu komikus lokal yang membuat saya falling in love at first sight. Saat itu saya melihat novel grafisnya, Selamat Pagi Urbaz!!, di rak salah satu toko buku. Waktu itu dompet saya sedang kembang kempis, tapi saya tetap memberanikan diri membeli. Dan tidak kecewa. Selamat Pagi Urbaz!! benar-benar membuat saya puas.
Selamat Pagi Urbaz |
Yang khas dari komik-komik karya Beng adalah cerita yang absurd, tarikan pena yang khas dengan outline tebal, juga keberanian bermain teknik arsir. Dan buat saya, kelemahan komikus lokal pada umumnya adalah soal stamina. Seringkali goresan terlihat tidak konsisten, utamanya di halaman-halaman tengah dan akhir. Tapi Beng lain. Ia mampu menjaga staminanya dari awal sampai akhir halaman.
Beng salah satu motor gerakan komik lokal di Indonesia. Sekarang, ia berkonsentrasi mengembangkan kelas komik Akademi Samali bersama teman-temannya. Ia juga aktif mengisi komik strip di koran Tempo hari Minggu. Saya mengikuti juga komik stripnya, walaupun Beng sebenarnya menurut saya lebih terlihat karakter dan keistimewaannya ketika ia menggarap komik dan novel grafis, bukan komik strip.
Untuk mengenal Beng, silakan main-main ke sini.
2. Aji Prasetyo
Ia adalah salah satu komikus unik. Tema-tema sosial yang ia garap kerapkali menyentil sekaligus menyengat. Mampu membuat sakit hati sekaligus membuat tertawa. Komikus yang mahir memainkan biola ini memang humoris sekali orangnya. Bercakap-cakap dengan dia akan mendapatkan banyak wawasan. Ia seakan tahu banyak hal. Tak bikin bosan. Sehari-hari ia berkumpul dengan teman-teman muda di Kedai Buku Sinau, depan pertokoan buku lawas kawasan Wilis, Kota Malang.
Aji Prasetyo |
Yang khas dari karya Aji Prasetyo adalah ia sabar menjaga alur sehingga kerap memberikan kejutan. Goresannya tidak ribet dan gestur yang dimunculkan karakter yang ia gambar sangat natural. Dan sebagaimana dia pernah bilang ke saya bahwa teks adalah bagian dari estetik komik. Sehingga ia selalu membuat teks di balon narasi dengan tulisan tangan. Kekuatan teks itu juga ia maksimalkan dengan dialog-dialog cerdas antar karakternya.
Hidup Itu Indah, karya Aji Prasetyo yang sempat dibredel. |
Silakan apresiasi karyanya di sini
3. Kharisma Jati
Kharisma Jati adalah komikus kontroversial yang cerdas! Silakan baca komik God You Must Be Joking, garapannya. Menyentil kehidupan beragama di negara kita dengan caranya yang bikin kita tersenyum kecut lalu akhirnya mengiyakan ide yang ia sampaikan.
Yang khas dari karyanya adalah gestur yang luwes, dan shading yang matang. Ia juga liar. Tidak mau terlalu terpaku pada frame. Juga kerap mengambil angle yang beragam. Sebagaimana Aji Prasetyo, ia juga mengisi teks dan balon narasi dengan tulisan tangan. Keliaran ide-ide Kharisma Jati juga membuatnya kerap memasukkan adult content di dalam komiknya. Hehe. Bukan hanya menyisipkan sedikit kemesuman, ia juga menyisipkan pemahaman-pemahaman yang kontroversial yang mesti hati-hati kalau membacanya. Intinya, yang mudah naik darah dan naik libido sebaiknya menghindari baca komik karya Jati. Hehe.
Salah satu potongan nakal komik God Must Be Joking |
Oh iya, Jati juga bisa "berdamai" kok dengan pasar. Ia belakangan membuat komik trilogi Anak Kost Dodol. Sebuah bukti bahwa pola pikir adalah di bawah kendali kita sepenuhnya.
Silakan intip karya Kharisma Jati di sini.
4. Sweta Kartika
Saya pernah bilang, bahwa Sweta Kartika adalah Lionel Messi di dunia komik Indonesia. Keduanya sama-sama karib dengan keajaiban. Sweta adalah penyihir. Gambar-gambarnya adalah hasil luapan imajinasi yang jernih. Sweta adalah contoh penyeimbang antara imajinasi yang intuitif dengan ketelitian, detail dan kerapian. Ia mampu membawa tema-tema "kuno" agar terlihat penuh daya pikat, eksotis dan tidak membosankan. Dari karakter, gambar-gambar Sweta sangat berkarakter kuat. Ajaib, barangkali itu kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Sweta dalam berkomik. Kendati tentunya ia tidak mendapatkan kejaiban itu semudah meludah.
Self-potrait ala Sweta |
Keajaiban Sweta Kartika yang lain. |
Kunjungi Sweta Kartika di sini.
Saya sangat yakin, bahwa secara sumber daya komikus, kita punya banyak orang luar biasa. Mereka empat di antaranya. Yang lain? Saya tunggu Anda menuliskannya.
Sampai bertemu di postingan berikutnya.
Halah.
Sepakat, meski saya hanya membaca karya Mas Aji Prasetyo di buku "Hidup Itu indah", saya kagum pada karya2 beliau. :)
BalasHapusLalu, di mana Is Yuniarto? :D
Sebagaimana saya bilang, kelemahan banyak komikus lokal kita adalah soal stamina. Dan itu kelemahan mendasar buat Is. Walaupun tak bisa dipungkiri, bahwa saya menaruh apresiasi yang mendalam terhadap garapannya, Wind Rider maupun Garudayana. :-))
Hapus