Jumat, 03 Februari 2012

Kisah Pejalan yang Terlampau Jauh

Ketika kehidupan sudah sedemikian karib dengan nilai-nilai dan kesepakatan yang bermuara pada kepalsuan, apa yang hendak kamu lakukan? Muak, lalu mengumpat dan bersumpah serapah? Mengikuti arus dan berserah? Atau menciptakan counter culture sendiri, yang terkesan utopis dan semacam onani konyol? Entahlah. Banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan, salah satunya meninggalkan itu semua dengan proses transaksi internal yang bulat, bahwa apapun yang kita jalani adalah pilihan sendiri, pantang mengeluh dan menyalahkan orang lain. Sisanya, bersenang-senang merayakan kehidupan. Ya, bersenang-senanglah. Jalani hidup dengan berani.


Seperti yang dilakukan oleh Christopher McCandless di film Into The Wild, besutan sutradara kawakan Sean Penn, yang bertolak dari buku karya John Krakauer dengan judul yang sama. Film yang bermula dari kisah nyata ini menceritakan petualangan seorang pemuda bernama Christopher McCandless, 22 tahun, yang meninggalkan banyak hal yang lazim ditempuh oleh orang kebanyakan, sebab ia terlampau jenuh sekaligus muak dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat secara umum, sadar ataupun tidak.


Chris - begitu ia biasa dipanggil-, adalah seorang pemuda Amerika yang baru saja menamatkan studinya di Emory University dengan nilai memuaskan, sehingga punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan bergengsi di Havard University. Tapi alih-alih melanjutkan sekolahnya, selepas wisuda, Chris malah membuat sebuah keputusan yang mencengangkan. Ia memutuskan untuk meninggalkan semua yang ia miliki. Ia hendak memulai sebuah babak kehidupan yang baru. Menjadi seorang pengembara. Seorang pejalan. Jauh, terlampau jauh. Alaska yang dingin adalah perhentiannya.


Maka Chris, selayaknya seorang manusia baru, mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp. Alex, si gembel super. Ia menguras tabungannya sebesar 24.000 dollar untuk kemudian disumbangkan ke Oxfam, sebuah lembaga sosial. Uang tunainya juga ia bakar, segenap kartu identitas ia gunting dan rusak. Alex, si Christopher McCandless yang baru, meninggalkan lingkaran orang-orang terdekatnya dengan kekecewaan sekaligus sebuah perasaan baru untuk mengarungi hidup. Kekecewaan terhadap keluarganya yang kelewat matrealistis, juga terhadap tatanan sosial yang dirasanya penuh kepalsuan.


Perjalanan Alex sebagai seorang manusia baru semakin berwarna setelah di jalan ia berkenalan dengan banyak orang yang menarik. Bukannya mengurungkan niatnya untuk mengembara, Alex justru semakin antusias untuk mengembara setelah bertemu dengan orang-orang itu. Bertemu pasangan hippies bernama Rainy dan Jan Burnes, Wayne Westerberg si petani gandum yang akhirnya ditangkap polisi, juga seorang veteran bernama Ronald A Franz yang hendak mengangkatnya sebagai cucu.


Dalam perjalanannya, Alex ditemani buku catatan harian yang merekam setiap jejak dan renungan-renungannya. Alex juga setia membawa dan membaca buku-buku karangan Leo Tolstoy, Jack London, dan Boris Pasternak. Perjalanan Alex berakhir di sebuah bus rongsokan yang teronggok di Alaska. Di sana Alex, menghabiskan usianya. Di bus itu, yang disebutnya "Magic Bus", Alex menandaskan renungan-renungan soal perjalanan hidupnya sambil tetap bertahan hidup di Alaska sendirian. Ya, sendirian. Berkawan dengan dinginnya udara Alaska, sekawanan rusa, jernihnya sungai, dan pohon-pohon hijau. 

Sean Penn menggarap film ini dengan penuh detail. Sangat detail. Tak ayal, film ini riuh oleh bermacam kategori nominasi award. Akting-akting pemerannya sangat natural, dialognya terasa nyata dan jauh dari unsur dibuat-buat. Khusus untuk Emili Hirsch, pemeran Alex sekaligus Chris, ada apresiasi tersendiri. Ia berhasil mendalami karakter yang dibalut perasaan getir memandang hidup, kecewa, tapi juga menyimpan sorot mata keberanian mengarungi hidup dengan mengharu biru. Sean Penn juga brilian memainkan alur, yang campuran antara alur flashback dan alur maju. Timingnya pas. Penn juga tidak mengkultuskan sosok Chris sebagai seorang hero, tapi sebagai anak manusia yang penuh dengan segala kemungkinan untuk menjadi naif sekaligus menjadi bijak. 

Film ini juga dibagi dengan chapter-chapter, sebagaimana bukunya. Pengambilan gambarnya yahud, belum lagi ditambah scene-scene yang mengambil capture pemandangan di kawasan Alaska, begitu memanjakan mata. Film semakin istimewa dengan soundtrack yang diisi oleh suara Eddie Vedder, dedengkot Pearl Jam itu. Suaranya berat, berkarakter dan penuh keharuan. Tanpa malu-malu, saya bahkan sempat meneteskan airmata ketika lagu berjudul Society dimainkan pada saat  scene Alex sedang berjalan melanjutkan kembaranya. Society, crazy indeed. I hope you're not lonely without me. 

Berbulan-bulan dalam mengarungi kesendirian di Alaska, Alex akhirnya harus berhenti. Tubuhnya semakin kurus dan kotor. Daya tahan tubuhnya menurun. Tapi semangatnya menjani hidup tanpa keluhan tetap tak surut. Ia meninggal setelah diduga mengkonsumsi kentang beracun. Mayatnya ditemukan oleh sekawanan pemburu sekitar satu minggu setelah kematiannya, di dalam bus yang ditinggalinya, tergolek di dalam kantung tidur yang dijahit oleh ibunya. Agak sedikit mengecewakan untuk sebuah ending film. Tapi ini kisah nyata, dan demikianlah keadaannya.

Perjalanan Chris ibarat sebuah laku asketik seorang pemuda naif. Di akhir hidupnya, sebelum maut menjemput, ia menuliskan sebuah kalimat yang dikutipnya dari novel Doctor Zhivago karangan Boris Pasternak. Ibarat sebuah kalimat pencerahan seorang pertapa dengan bus rongsokan sebagai pohon bodhi-nya. Bunyinya, "Happines only real when shared".

Skor akhir: 4 dari 5. 

*gambar diambil dari sini

3 komentar: