Selasa, 17 Januari 2012

Cerita Don Quixote dan Majalah Kampus

Pernah membaca cerita Don Quixote? Barangkali sudah, barangkali belum. Yang jelas itu adalah cerita karangan Miguel de Cervantes. Kisah tentang seorang kakek  renta yang pemimpi dan utopis, yang membayangkan diri sebagai seorang ksatria. Nama asli kakek itu adalah Alonso Quixano, seorang tuan tanah kelas gurem. Ia  lantas mengubah namanya menjadi Don Quixote de la Mancha yang kemudian bertualang bersama Sancho Panza. Ia juga  memilih seorang wanita desa berwajah buruk  sebagai kekasih khayalan yang mati-matian ia bela. Alih-alih dikenang banyak orang sebagai ksatria, Don Quixote malah menjadi bahan tertawaan dan olok-olok. Tragis. Ironis.

Dan tanpa bermaksud berlebihan, saya juga pernah mengalami kisah semacam itu. Dulu, saat masih kuliah. Sampai sekarang, saya sering tertawa sendiri bila mengingat kisah saya itu. Tapi saya juga kerap menghibur diri. Bagaimanapun, itu bagian dari proses pembelajaran menuju kedewasaan hidup (Halah).


Jadi, dulu selepas SMU, saya melanjutkan kuliah di kota Malang. Sebagaimana saya ceritakan di sebuah postingan yang lampau, "kesesatan" saya  menjalani laku pecinta buku juga diawali di kota ini. Perlu diketahui, saya kuliah di sebuah institusi kesehatan milik departemen kesehatan. Ya, bisa ditebak, suasananya formil sekali. Lupakan rambut gondrong, jeans belel, dan kemeja flanel ala pemuda grunge. Tidak akan Anda jumpai hal itu di kampus saya. Tak akan.

Dulu, kampus saya ini menawarkan sebuah ikatan dinas selepas tamat masa studi. Tapi seiring berjalannya waktu, program itu dihapus. Generasi saya termasuk generasi ke sekian yang tidak merasakan kebijakan itu. Namun tetap saja, karena orientasinya cenderung ke arah "kedinasan", maka kehidupan kemahasiswaannya juga kaku. Asrama, seragam, mata kuliah diatur tak ubahnya anak sekolah, adalah buktinya. Tapi saya juga membuat keputusan untuk kost saja, daripada di asrama. Mungkin karena saya tipikal orang yang tidak terlalu suka keriuhan.

Suasana yang kaku juga didapati di organisasi kemahasiswaan. Saat itu saya berniat mengembangkan eksistensi saya (duile, mgomong apa ini), apalagi mengingat kehidupan sekolah menengah saya-yang kata Obbie Mesakh adalah masa paling indah-cenderung biasa saja. Satu lagi, saya berasal dari desa. Jadi inginnya ikut kegiatan-kegiatan mahasiswa, biar tambah pengalaman. Biar tambah kadar kekerenan juga, mungkin. Norak ya? Hehehe.

Saya memutuskan ikut Himpunan Mahasiswa, sebuah organ kecil di tingkat prodi/jurusan. Tahun pertama duduk sebagai Koordinator Departemen Minat dan Bakat (nama departemen yang "orba" sekali). Dan tahun kedua, saya duduk selaku Koordinator Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (ini juga nama departemen yang P4 sekali). Nah, di tahun kedua, saya selaku Koordinator Departemn PSDM membuat sebuah program kerja baru. Salah satunya adalah membuat Majalah Kampus.

Membuat? Ya, membuat. Karena memang sebelumnya tidak ada. Dan kenapa majalah kampus? Kalau ditanya seperti ini, jawaban-jawaban yang normatif bisa saya munculkan begitu banyak. Tapi jika Anda meminta jawaban subyektif, maka ini tak lepas dari posisi saya yang waktu itu sedang "puber aksara". Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun di mana saya seperti keledai, membawa buku ke mana-mana, tapi belum tentu benar-benar paham isinya. Gaya favorit saya adalah meletakkannya di ketiak saya, sambil berjalan-jalan. Menumpuknya sembari duduk ngopi bersama teman-teman, atau mencuri-curi membaca saat dosen yang kelewat membosankan dalam mengajar. Buku-buku soal kesehatan? Bukan, melainkan buku-buku umum. Sok sekali pokoknya saya waktu itu.

Karena saya sedang "puber aksara", saya memimpikan sebuah wadah baca-tulis untuk mahasiswa. Medianya melalui mendirikan kelompok yang membuat majalah kampus. Penting digaris bawahi, bahwa budaya membaca buku di tempat umum, budaya menulis bagi mahasiswa, budaya diskusi, apalagi soal gerakan, hampir dibilang tidak ada di kampus saya waktu itu. Sebagaimana saya bilang, kampus saya adalah kampus "kedinasan", yang menyiapkan tenaga-tenaga kesehatan untuk siap dinas dan siap kerja. Mayoritas mahasiswa pun jarang yang berminat dengan kegiatan-kegiatan di luar "aturan". Rata-rata memang sangat menjaga kelancaran studi tanpa "gangguan" hal-hal di luar itu. Kecuali pacaran, mungkin. Hehehe.

Kenekatan saya membuat majalah kampus saat itu boleh dibilang konyol. Saya tidak punya latar belakang jurnalistik sama sekali. Tidak paham kaidah-kaidah jurnalisme. Modal saya nekat. Dan kondisi yang "puber aksara" tadi. Soal konsep, konten, desain dan lain-lain saya sok sekali hendak digarap sendiri.  Padahal saya waktu itu tidak bisa menulis. Kacau lah pokoknya. Saya mengajak beberapa rekan yang ternyata bersimpati.


Beberapa teman yang menyumbang naskah juga ada yang sekedar copy-paste dari artikel hasil browsing di internet. Tulisan lain juga ala kadar sekali. Lay-out? Apalagi. Bahkan, saya waktu itu sampai menyontek lay-out beberapa majalah kampus milik kampus lain. Hanya memodifikasinya sedikit. Dan ternyata malah kacau lay-outnya, mengingat kondisi saya yang gagap teknologi waktu itu. Apalagi soal olah grafis dengan komputer.

Tapi kenekatan saya bukannya tanpa halangan. Saya sempat berkali-kali menghadap dosen kemahasiswaa saya soal majalah ini. Beliau adalah penanggung jawab majalah ini. Dan apesnya, orangnya sangat kolot, keras kepala, ditambah juga tidak punya pengalaman soal dunia tulis-menulis. Lengkaplah sudah. Berkali-kali saya harus "mengalah", karena beliau tidak setuju dengan muatan ini dan itu. Bahkan saya juga harus membesarkan hati saat beliau bersikeras memberi nama majalah ini dengan nama yang terdengar kaku sekali. Lebih mirip nama media penyuluhan atau nama buku LKS anak SD.

Edisi pertama hadir. Salah satu  "liputan"nya soal gempa bumi di Jogja. Saat itu memang saya dan beberapa kawan berangkat menjadi relawan. Ditambah beberapa tulisan yang tidak jelas. Genre maupun tata cara penulisannya. Lengkap dengan rubrik "Salam Pembaca" yang fiktif. Edisi pertama menimbulkan banyak kekecewaan. Bagi saya, maupun bagi rekan-rekan redaksi, juga mahasiwa secara umum. Harganya juga mahal. Membuat banyak orang malas beli.


 Ternyata, majalah kampus yang saya dirikan bersama teman-teman hanya berhasil mengeluarkan satu edisi. Edisi pertama sekaligus edisi terakhir. Adik-adik angkatan saya juga tidak meneruskan pembuatan majalah itu. Entah, barangkali ngeri melihat kegagalan kakak tingkatnya. Hehe.

Saat itu, saya merasa diri saya tak ubahnya lakon Don Quixote. Utopis dan muluk-muluk, padahal ujung-ujungnya hanya menjadi bahan lelucon. Saya terperangkap pada obsesi saya sendiri, tanpa melihat kekurangan diri sendiri. Tapi apapun itu, yang jelas saya mendapatkan pengalaman berharga soal penerbitan majalah pertama dan terakhir itu.

Saat menulis posting ini, saya sambil senyum sendiri. Teringat kenekatan saya waktu itu. Kenekatan yang berujung saya jadi bahan olok-olok, dilabeli "public enemy" (selain karena kegagalan-kegagalan lain yang tak saya ceritakan di sini), sekaligus membuat dosen sedikit jengkel. Kenekatan yang penuh pertaruhan. Saya kira itu menarik diceritakan untuk anak-anak saya kelak.

Toh, kata Syahrir, hidup yang tidak dipertaruhkan adalah hidup yang tidak akan pernah dimenangkan, bukan?

:-))

*gambar diambil sesukanya dari sini

4 komentar:

  1. ya sampe sekarang bukannya masih gaptek ya? udah bisa defrag belum?

    ttd,
    mantan ketua koordinator advokasi & kesejahteraan mahasiswa BEM fakultas sastra inggris universitas seada-adanya yg tugasnya cuma ngotot ke dosen bikin acara jalan, diantaranya adalah diskusi filsafat tiap rabu sore, ben2an ga jelas, baksos hura2 bagi2 kondom ke waria, zine2an berkala (hanya terbit kala2 sempat). eh, ttenya kepanjangan ya? gapapa lah. biar sirik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Dasar, bu guru rese'. Tunggu ya Pit, postingan berikutnya kayaknya soal kamu..*nyengiriblis*

      Hapus
  2. shichibukai. .... .

    BalasHapus