Rabu, 14 Desember 2011

Alternatif

Gambar diambil dari sini
Kasus I
Seorang anak perempuan, usianya sekitar 9 tahun, datang ke UGD dengan diantar oleh bapaknya. Tangannya terbebat balutan. Sepanjang siku sampai pergelangan. Dari balutannya, itu bukan balutan biasa. Maksud saya, balutan itu terlihat dilakukan oleh orang awam.

Dan benar, anak itu ternyata sebelumnya memeriksakan diri ke dukun patah tulang. Orang di tempat saya  menyebutnya sangkal putung. Ceritanya, anak itu terjatuh sekitar 7-10 hari sebelum dia datang ke UGD siang itu. Tulang radius-ulnanya patah. Close fracture radius ulna 1/3 tengah. Orang tua si anak berinisiatif membawa anaknya ke sangkal putung. Merasakan ketidaknyamanan, si anak mengeluh pada orang tuanya. Si Bapak lalu berpindah haluan dengan membawa anaknya ke rumah sakit.

Begitu bebat dibuka, ada yang membuat terperanjat. Lengan anak itu menghitam. Jaringan nekrose, jaringan mati. Areanya cukup luas, sepanjang siku sampai pergelangan. Itu compartment syndrome. Solusinya, operasi vasotomy. Itu bukan tanpa pertaruhan. Resiko paling mengerikan adalah tangan sang anak bisa diamputasi, bila jaringan tak juga membaik . Resiko yang sedikit lebih ringan, tangan si anak memiliki peluang kontraktur yang praktis mengubah fungsi, maupun citra diri.

Kasus II
Seorang  lelaki setengah baya. Usia sekitar 40 tahun. Badannya kekar, berotot dan tegap. Tampak benar jika dia karib dengan aktifitas fisik yang berat. Keluhan nyeri perut hebat. Begitu dilakukan pemeriksaan fisik, perutnya kaku. Keras seperti papan. Nyeri  tekan di semua lapang perut. Dia datang ke UGD setelah dipijat oleh seorang tukang pijat beberapa hari sebelumnya. Dugaan kuat ileus obstruktif. Pemeriksaan penunjang dilakukan. Operasi ditawarkan. Ternyata benar, ususnya melilit terkena pijatan. Aliran darah ke area usus berhenti. Terbentuk jaringan mati. Usus dipotong sekitar 30 centi.


***

Ilmu kedokteran memiliki sejarah panjang. Ilmu kedokteran mainstream yang banyak dipakai di jaman sekarang, pada mulanya juga hasil estafet beberapa peradaban. Bermula di tanah penuh epik, Yunani. Gallen, Dioscorides, adalah tokoh-tokoh pelopor kedokteran di masa kejayaan peradaban Yunani. Lalu bergeser di jazirah Arab, yang menerjemahkan teks-teks kedokteran dari tanah Yunani.  Mereka juga mengklaim menyempurnakannya. Ibnu sina, Al-Khaiwidi, Al-Razi, adalah motor penggeraknya. Banyak buku-buku kedokteran yang ditulis mereka yang menjadi pondasi kedokteran modern sampai sekarang. Termasuk yang ditulis Ibnu Sina, The Canon of Medicine ( Al-Qanun fi al-Thib) yang berjilid-jilid itu. Dan sejarah kembali bergeser, saat kekhalifaan Arab runtuh. Diawali serbuan bangsa Tartar yang konon membakar banyak literatur cemerlang, termasuk kedokteran, pada zaman itu. Hanya sedikit yang terselamatkan . Dan tongkat estafet kembali berpindah ke Barat. Mereka menjadi kiblat dunia kedokteran. Sampai sekarang.

Bagaimana dengan peradaban lain, apakah mereka tidak memberikan sumbangsih? Saya kira itu permasalahan yang relatif. Jika melihat kedokteran mainstream, maka kedokteran Barat adalah sebuah hegemoni. Mereka seolah mengaku yang paling benar, yang lain belum tentu. 

Bagaimana dengan pengobatan yang dilahirkan peradaban lain? Cina dengan metode shinse, pengelolaan chi, akupunturnya? India dengan penataan prana, metode yoga-nya? Atau mungkin pengobatan ala Nusantara? Bagaimana dengan pijat, sangkal putung, aromateraphy, bekam, totok, dan yang lain?

Saya kira permasalahan kedokteran modern sangatlah kompleks. Sehingga pendekatan selayaknya muncul dari banyak sisi. Alternatif adalah solusi. Kendati sama-sama menghadapi permasalahan yang sama dengan pendekatan ala Barat: ketidakpastian.  Namun saya percaya, pendekatan ala Barat bukanlah jalan tunggal yang mutlak diimani. 

Yang menjadi masalah adalah metode. Pendekatan ala pengobatan alternatif kerap mengabaikan itu. Ilmu diturunkan secara turun temurun dengan pola yang tidak telalu sistematis, walaupun ada. Algoritma nyaris tidak tersusun dengan baik. Sehingga penatalaksanaan terhadap kasus-kasus yang muncul cenderung mengandalkan intuisi, jika tidak boleh dibilang ngawur.

Soal persentase  keberhasilan, saya kira memang perlu dilakukan riset yang serius. Tapi yang jelas, ilmu kedokteran alternatif memiliki keunggulan lebih banyak “menyentuh’ pasien. Sebuah hal yang terkikis pelan-pelan oleh kedokteran modern. Ilmu kedokteran modern terbelit oleh sebuah paradoks, “high tech, low touch”.

Maka saya memimpikan institusi-institusi pendidikan kesehatan yang formal, yang mempelajari dunia kedokteran alternatif yang selama ini menjadi minoritas sekaligus kerap dianggap tidak bermutu, apalagi bergengsi. Memimpikan yoga diajarkan secara formal, anatomi fisiologi ditinjau ulang dari sudut pandang prana dan chi, atau mengajarkan menotok dan menusuk jarum di meridian energi sebagai pengganti jalur akses intra vena.

Bisakah anda membayangkan ventricular fibrillation dihadapi tanpa defibrillator, tapi cukup dengan pukulan berenergi chi tinggi dari dokter atau paramedis di dada pasien?

Sepertinya menarik.


3 komentar:

  1. ya ya ya!!pengetahuan baru yang sangat menarik bagi saya!!seperti teringat masa laluj ketika temen saya juga dioperasi dan ususnya dipotong, permasalahannya hanya karena kebelibet tali puser!! (atau yang dulu saya artikan mungkin kebelibet tali kolor x ya??) soalnya baru2 ni saya tahu dan percaya kalo puser memang ada tali nya!! * ehm udah ganti

    BalasHapus
  2. Lambenya. Lha emang itu temenmu umur berapa kok puser masih melilit. Yakin itu puser? Bukan ekor? *eh?!*

    BalasHapus
  3. hahaha...ekor??mungkin juga!!konon temen saya itu bernama Dwi Hermawan kalo gak salah, saya ingetnya si Cetok panggilannya!!lah itu dia, kelas 3 SMA waktu itu, jaman itu, atau kala itu tepatnya!!beliau dioperasi!!dan ternyata penyebabnya tali pusernya melilit!!*saya malah takutnya tali pusernya habis dipotong langsung dibuat tali kolor!e

    BalasHapus